• Serah Terima Amanah

    Serah Terima Amanah dari Syah Azis Perangin Angin (Ketua FLP Semarang 2011 - 2014) kepada Muh. Hafidz Nabawi (Ketua FLP Semarang Periode 2014 - 2016). Semoga dapat membawa FLP Semarang menjadi lebih baik. Amin...

  • Pelantikan Pengurus Wilayah FLP Jateng di Semarang

    Pelantikan Pengurus FLP Wilayah jawa tengah di SDIT Cahaya Bangsa Semarang. Semoga amanah ya... Amin..

  • Open Recruitmen Anggota FLP SMG

    Berpose setelah selesai mengikuti Rekrutmen Anggota Baru FLP Semarang... Ayo, Tunjukkan Orange-Mu.. Menanti karya Flpers Semarang... Semoga makin produktif... Amiin..

Saturday, July 20, 2013

#11 Kisah Ramadhan Pejuang Pena Semarang



Madrasah Ramadhan
Oleh Nurokhim


Alhamdulillah,
tamu itu telah datang
Bak rombongan jamaah haji,
ia disambut gegap gempita
layaknya marching band

tamu ini membawa kabar gembira
bagi mereka yang beriman
ia menjanjikan ampunan, keberkahan,
dan menyembuhkan luka hati
karena goresan iri dengki

ia menaungi amalan-amalan saleh
bagi mereka yang merindukan surga

seperti sebuah madrasah,
ia menulis, mencatat, juga menilai
siapa saja yang

#10 Kisah Ramadhan Pejuang Pena Semarang

PUISI-PUISI KARYA KUN MARYONO


Bulan Pembakar.

Duhai siang yang di cintai
Menetaplah lebih lama
Biarkanlah dahaga menengak curahan terik
Mendekap lapar seperti ikatan satu
Terus seperti itu menuju malam

Malam malam berlomba  mempersembahkan gulita
Tidak peduli !, rindu itu tertatih menuju Masjid
Tertunduk takut, bersujud harap
Tumpah letih menghitam, waktu itu….
Menangis padanya adalah cinta
Tangis yang seakan tidak ingin berhenti
Malam itu di saksikan, di janjikan

Demi Yang Merajai Terang dan gelap
Pada waktu yang membakar
Inginkan kami di bumi yang tidak seperti bumi lagi

Wonogiri, 5 Ramadhan 1434 H.


JATUH

Maka jatuhlah dalam cinta
Atau cinta itu datang padamu dengan caranya jatuh
Jatuh yang mematungkan ramai hari manusia

     Wahai hati yang telah menjatuhkan
     Melitasmu sesaat itu lebih di cintai pada pagi dan sore hari
     Sesungguhnya doa pagi dahulu itu bercerita dirimu
     Barantai tanpa jeda, merentang selelah hati bicara
     Itulah doa, sepinya adalah harapan

Padamu, bukanlah jatuh yang semestinya
Karena ……
Aku telah mencintai jatuh itu melebihi kesediaan  purnama pada gulita malam

     Hai kunang kunangkah itu ?

Sampaikan pada gulita  ini adalah rindu kemarin
Saat ayat ayat itu menjadi rindu yang telah jatuh
Di sisiku dan ajari aku membaca
Aku memohon seperti akan kehilangan nyawa
Walaupun di eja satu satu

     Wahai jatuh yang menghujam pada Niqab tak berwarna
     Santunilah inginku padamu
     Tidaklah cinta ini buta
     Sumpah itu menangisi dirinya pada malam ketika di saksikan

Jatuhkanlah !
Setara langit mencurahkan yang di miliki

    Saat ini sepi adalah penjaga hati
    Padamu, mustajab doa pagi

Wonogiri, 6 Ramadhan 1434 H

#9 Kisah Ramadhan Pejuang Pena Semarang



Alarm Ramadhan
oleh An Maharani



Kring... Kring… Kring...

Hal pertama apa yang aku pikirkan saat bangun tidur? Mata merah, wajah gelisah, saraf simpatik mulai meraba dunia nyata. Alhamdulillah, sudah semestinya kubersyukur untuk bangun dari kematian sementara. Apalagi, saat mengetahui bahwa minggu ini sudah masuk ke sepuluh hari kedua bulan mulia. “Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?”

Ponsel kuning mama selalu setia membangunkan kami. Tak pernah telat dari jadwal yang ku-setting sebelumnya: jam 03.00 WIB. Kadang, aku malas untuk membuka mata, namun mama selalu memaksaku untuk bangkit dari tempat tidur.

“Ayo, bangun, kalau ga mau tahajud kesiangan!”

Haha.. Aku sering mendirikan shalat malam mendekati sahur. Minggu pertama merupakan minggu adaptasi yang berat untukku. Biasanya aku bangun mendekati shubuh. Shalat malamnya juga mendekati shalat shubuh. Namun untuk ramadhan kali ini, aku ingin manajemen waktu tertata rapi. Tak boleh begadang malam-malam, untuk mendapatkan kesempatan shalat malam. Bacaan Al Qur’an-pun harus ditingkatkan. Ga boleh ada agenda malas-malasan, termasuk menghidupkan shalat berjama’ah di masjid. Selang waktu sahur dan adzan shubuh tak berlangsung lama, paling sekitar sepuluh menit. So, buat apa untuk melanjutkan tidur lagi? Kali ini harus ada perlawanan dari musuh bebuyutan yang bernama:

Thursday, July 18, 2013

#8 Kisah Ramadhan Pejuang Pena Semarang


Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yang Tersayang Dalam 12 Putaran.
 oleh Kun Maryono

     Pada hati yang padanya terdapat iman yang pertama menyambut datangnya Ramadhan adalah panggilan
kebahagiaan layaknya sunyi menyambut rindu, yang membiru pada
tanah dan bertalu talu menyebut cinta yang meruah di angkasa kemudian memenuhi langit dengan doa, Ramadhan adalah menyambut kasih sayang yang meluap seakan meledak bagai nuklir di mata yang mencair menjadi ratap bahagia bersama rindu kemarin yang dengan rahmatnya kita masih dapat menangisi dosa yang lalu, rindu kita sebagai manusia beriman dan bukankah demikian Rabb mempersembahkan Ramadhan itu, hanya bagi orang orang beriman.

     Baiklah wahai secuil kekalahan, seperti yang sudah sudah dan semakin bertambah akut bahwa makna Ramadhan itu luntur tak terkendali bersama kebebasan, seakan Ramadhan benar benar penjara yang terkumpul seluruh kesenangan itu dalam ruang sunyi yang ada pada siang hari, kemudian di salah artikan bahwa adzan magrib adalah kunci kebebasan pada penjara sunyi itu dan syawal adalah

Tuesday, July 16, 2013

#7 Kisah Ramadhan Pejuang Pena Semarang

Selimut Al-qur’an

Oleh : Raddy Ibnu Jihad


Angin berhembus menerpa tubuh. Sejuk rasanya. Bagaimana jika setiap hembusan itu berhiaskan senandung Al-qur’an yang menyelimuti? Subhanallah jauh lebih indah pastinya.


Ramadhan pun mengajak muslim berkompetisi dalam berdialog dengan Al-qur’an. Menjadikan insan yang tersering dalam berbicara dengan Al-qur’an. Senandung suci menggelora membumi laksana alunan harmonisasi antar chord yang terangkai indah. Selayaknya mengajak untuk terus berbuat kebaikan dengan totalitas tanpa batas.


Sobat ....


Sungguh tak akan pernah kita temui kekuatan cinta pada Al-qur’an sekuat

Monday, July 15, 2013

#6 Kisah Ramadhan Pejuang Pena FLP Semarang

Islam Itu Rahmatan Lilalamin

 oleh Lala di batas maya 

Bismillahirrahmanirrahim

         ---***---
meski hidup itu singkat
prosesnya demikian panjang
sejak dalam kandungan
hingga ajal menjelang
         ---***---

Mengamati cerita-cerita dan film/sinetron yang mengaku religi beberapa hari ini membuatku bertanya-tanya. Mengapa di setiap akhir selalu ada yang dimatikan? Apakah semahal itu proses belajar untuk memperoleh rahmat Allah? Menjadi pribadi yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah?

Mari kita cermati bersama hadits berikut ini:
"Seorang masuk surga bukan karena amalnya tetapi karena rahmat Allah Ta'ala. Karena itu bertindaklah yang lurus (baik dan benar)." (HR. Muslim).

Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala banyak dibicarakan di Bulan Ramadhan. Apalagi karena bulan ini juga dikenal dengan

Sunday, July 14, 2013

#5 Kisah Ramadhan Pejuang Pena Semarang

Air Sumber Kehidupan
Oleh Adisaputra Nazar

Tadi pagi (Jum’at, 12 Juli 2013) ada kesempatan berkunjung ke Dinas PSDA Kota Semarang untuk mendampingi teman untuk paparan perkembanagn proyek drainase penanganan banjir dikawasan perempatan Cinde dan sekitaranya. Lama menunggu di lobi, ada beberapa poster tentang sumber daya air baik berupa himbauan, “Hujan adalah rahmat, salah mengelolanya akan jadi musibah.” Disertai dengan ilustrasi kartun tentang bencana banjir yang dialami penduduk di perkotaan. Namun ada sebuah poster lain yang menarik karena mengutip dari ayat Alqur’an.
"Dan Kami turunkan air dari langit dengan jangka tertentu; maka Kami endapkan dia dalam bumi. Dan Kami pun berkuasa menghabiskannya." (QS. Al Mu’minun ayat 18). 
Membacanya saya jadi berpikir, teringat oleh pada matakuliah hidrologi dan pengelolaan sumber daya air yang kudapatkan setahun yang lalu ternyata

Friday, July 12, 2013

#4 Kisah Ramadhan Pejuang Pena Semarang



Kesempatan Kedua



Bulan penuh berkah kembali menjumpaiku di peraduan. Saat bulir embun tak mampu lagi berlama-lama dalam keheningannya. Ia menguap, menyatu dengan angin. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku yang tinggal sebentar tuk menjadi embun bagi orang-orang yang mengenalku. Ini lah aku, dalam ketakberdayaanku menjalani takdir hidup. Aku hampir menyerah. Putus asa dalam kubangan kegagalan yang tak ada habisnya. Namun Allah masih memberiku kesempatan untuk sekali lagi membaktikan hidupku bagi orang-orang yang menyayangiku.
Masih teringat air mata ibu yang mengiringi kepergianku. Saat kuputuskan meninggalkan rumah demi melanjutkan hidupku. Meninggalkan adik dan kampung halamanku. Tiga tahun telah berlalu, dan aku merindukan mereka. sangat.
“Jangan pergi anakku, kamu lah satu-satunya harapan ibu. Ibu sudah kehilangan Ayahmu, sekarang Ibu tak ingin kehilangan dirimu. “ kata-katanya kala itu.
“Kak, jangan tinggalin Nadia sendiri,” rengek gadis kecil di samping ibu. Namun, hati ini telah lelah untuk hidup dalam kekurangan. Dengan keinginan kuat merubah nasib, aku pun pergi membiarkan kenangan-kenangan masa laluku tertinggal bersama jejak-jejak langkahku.
Kini tangisan dan rengekan itu menjelma rintihan mimpi dalam tidurku. Menghantui setiap detik yang berlalu. Aku menyesal dulu pernah meninggalkan mereka untuk mengejar sebuah mimpi di kota. Mimpi yang penuh dengan tipu daya yang melenakan setiap manusia.
Di perantauan, aku tak pernah tahu, atau mungkin tak pernah ingin tahu. Bahwa adik dan ibuku sangat membutuhkan keberadaanku. Keberhasilan yang kuraih telah membuatku terlena. Menjadikanku seorang pekerja tanpa kenal lelah. Aku lalai menjalankan kewajibanku terhadap Sang Pemilik Kehidupan, hingga dalam kesenangan dan keberlimpahan harta. Aku ditegur oleh-Nya, Dzat yang Maha Memberi Rizki.
Aku sakit-sakitan, tubuhku kurus ringkik tak berdaya, semua hartaku di bawa pergi pembantu. Semua usahaku dipindah tangan oleh rekan kerjaku. Dan Aku dibuang ke sebuah desa antah berantah yang tak kukenal. Hingga aku bertemu gadis bernama Okta Novitasary. Ia lalu membawaku tinggal di rumah sederhana namun cukup luas untuk ditinggali sendiri.
“Kak Okta sudah pulang, Kak Okta sudah pulang!” teriak seorang anak seraya menghampiri gadis itu. Lalu tak berselang lama, anak-anak lainnya berhamburan mengelilingi Okta dengan wajah polos mereka. 
“Sudah pada makan semua?” tanya Okta pada anak-anak yang dijawab serentak dengan gelengan kepala.
“Kalau begitu, ini kak Okta bawain oleh-oleh. Dibagi yang rata yah.” Katanya seraya mengeluarkan sebungkus hitam nasi.
“Kamu tinggal sendirian dengan anak-anak itu?” tanyaku padanya. Ketika semua anak-anak kembali ke kamar untuk mengisi perut mereka yang kosong.
“Iya. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk mereka.  Mereka adalah orang-orang yang dibuang keluarga, hidup di tengah-tengah kerasnya Jalanan. Keberadaan mereka tak pernah diharapkan masyarakat. Dan aku mengumpulkan mereka di sini. Setidaknya, mereka punya tempat untuk kembali.” Jelasnya seraya tersenyum. Lalu meninggalkanku sendiri di ruangan.
Aku merenungi kembali atas apa yang selama ini kulakukan. Banyak di luar sana, orang-orang yang kehidupannya tak pernah diharapkan oleh orang tua, sedangkan aku? Aku telah menyia-nyiakan keluargaku di kampung halaman. Hatiku terhenyak, tangisku meleleh. Aku telah berdosa pada keluargaku. Aku ingin kembali ke mereka. Aku ingin mencari mereka.
“Sebentar lagi berbuka, ayo. Bersihkan dulu badanmu, mari ......,” kata-katanya terputus. Aku baru teringat kalau kami belum saling kenal.
“Adib, panggil saja Adib” jelasku. Ia pun menuntunku berjalan.
Malam hari rumah itu ramai dengan lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an, hatiku tentram mendengarkan bait demi bait yang menyentuh kalbu. Aku merindukan ini semua, dulu ibu lah yang mengajarkanku membaca Al-qur’an. Telah lama aku tak membacanya.
Aku mulai belajar mendalamai kembali ajaran agama pada Okta, belajar arti hidup dari seorang Okta, yang ku tahu belakangan adalah anak orang berada namun kedua orang tuanya telah tiada. Meninggal dalam sebuah kecelakaan. Ini rumah neneknya. Ia ingin menjadikan rumah neneknya sebagai tempat bernaung anak-anak yang tak punya tempat tinggal. Sedang ia bekerja di perusahaan peninggalan almarhum ayahnya. Meski ia adalah pemilik perusahaan, ia tak mau menjadi pemimpin perusahaan, setidaknya untuk saat ini. Ia ingin memulai semuanya dari bawah. Seperti kebanyakan orang memulai kerja.
“Kau punya rumah? Apa keluargamu tidak mencarimu, bila kau tidak pulang ke rumah?’” tanyanya suatu ketika.
“Yah, aku punya. Di kota, punya perusahaan juga. Tapi semua itu kini telah diambil dariku, mungkin itu teguran buatku karena telah melupakan Tuhan. Entah lah. Aku memiliki keluarga di kampung halaman, tiga tahun yang lalu aku meninggalkan Ibu dan Adikku. Aku malu bertemu mereka,” kenangku.
“Allah masih menyayangimu, Mas. Memang, kita sering menganggap kesulitan dan kekuarangan itu sebagai ujian. Padahal sebenarnya, kesenangan dan nikmat itu juga merupakan ujian yang berat. Sekali saja terlena, maka kita akan sulit kembali ke Jalan-Nya. Seperti yang Mas alami mungkin,”
Dengan nasehat Okta, aku pun meminta bantuannya untuk mencarikan keberadaan keluargaku. Karena aku tak mungkin bisa melakukan perjalanan jauh dengan kondisiku kini. Hari demi hari berlalu, dan tak ada kabar dari orang suruhan Okta. Aku hampir putus asa. Namun gadis itu selalu menguatkanku.
Hingga tibalah sebuah surat, aku membacanya. Itu dari orang suruhan Okta. Perlahan kubaca. Dan ternyata ketakutanku selama ini menjadi kenyataan. Ibu dan adikku kini telah pindah, rumah yang dulu kutempati sekarang sudah berpindah tangan. Dan keluarga yang menempatinya tidak tahu ke mana pemilik yang lama pergi. Oh Tuhan, Ujian apa lagi yang akan hamba terima... batinku.
“Mas, jangan bersedih. Masih ada kami di sini. Kami adalah bagian dari keluargamu sekarang. Untuk itu, biarlah takdir yang akan mempertemukan Mas dengan keluarga Mas. Tinggallah disini, dan kita bangun anak-anak ini menjadi anak-anak yang berguna kelak. Mungkin Allah juga yang telah mengatur pertemuan kita. Agar Mas memiliki kesempatan kedua untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab pada keluarga. Ini ujian bagi Mas, apakah akan mengambil jalan yang sama seperti dulu.” Gadis itu menguatkan hatiku.
“Tapi, aku takut memberatkan kalian. Dengan adanya diriku, berarti akan semakin banyak beban yang akan kau tanggung Okta,” kataku menyela,
“Itu tidak akan terjadi, bila kau masih memiliki keinginan bekerja. Aku akan selalu ada untukmu. Kita tanggung semua ini bersama-sama. Bila tidak kita, siapa lagi yang akan memperhatikan nasib mereka.” jawabnya seraya tersenyum. Senyum penuh ketulusan.
Perlahan aku mulai beradaptasi dengan keluarga baruku. Banyak nama-nama yang harus aku ingat. Tapi aku bahagia. Hidup di tengah-tengah mereka dengan segala kekuranganku. Aku berjanji aku akan berusaha untuk terus hidup. Untuk terus memiliki semangat bekerja, demi anak-anak, demi Okta, dan demi hidupku bersama mereka agar tak menjadi beban di suatu hari nanti. Sekali lagi aku ingin hidup untuk memperbaiki kesalahan di masa laluku.
“Kak Adib, biar Rony saja yang ngerjain. Biar kakak istirahat.” Seraya mengambil baju yang ingin aku cuci.
“Terima kasih Rony, tapi biarlah kak adib yang ngerjakan yah.. Kamu anak baik. Mungkin kamu bisa tolong Kakak, bawakan bajunya ke belakang,” pintaku padanya.
“Cepat ke sekolah, ini hari pertamamu kan?” ia mengangguk, tersenyum, lalu pergi. Syukurlah aku masih bisa melihat kebahagiaan di mata mereka. Masih banyak anak-anak yang nasibnya seperti mereka, harus putus sekolah karena alasan klasik. Biaya sekolah yang tinggi. Seperti dulu, saat Ibu tertatih-tatih membiayai sekolahku. Kenangan itu hinggap kembali.
Aku, masih merindukan mereka. Ada penyesalan yang dalam di hati ini. Namun apa lah daya hamba. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berdo’a untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka berdua, di mana pun mereka berada. Aku memohon pada Allah, agar dipertemukan lagi dengan mereka sebelum aku dipanggil menghadap-Nya. Biarlah hidup mengalir sesuai takdirnya. Aku ingin belajar berbagi bersama Okta dan anak-anak di rumah ini. Dengan kemampuanku, aku mengajari mereka sebuah hal-hal baru yang pernah aku alami di kehidupanku. Aku membagi semua kisahku pada mereka, agar tiada lagi anak-anak seperti mereka yang bernasib sama denganku. Terima kasih Okta, engkau lah sumber inspirasiku. Engkau lah penguat jiwaku. Semoga aku bisa menjadi embun bagi tunas-tunas jiwa yang keberadaanya tak pernah diakui oleh masyarakat. 

Langit Kota Atlas, 2013

M. Adib Susilo, Penulis lahir di Lamongan, 6 Juli 1991. Anak kedua dari empat bersaudara. Hobinya adalah membaca dan menulis dan sekarang memiliki hobi baru sebagai peresensi buku. Masih menjalani aktivitas kuliah di IAIN Walisongo Semarang. Coretan-coretannya masih butuh banyak perbaikan, kritik dan saran yang membangun. Dan Alhamdulillah beberapa karyanya, Purnama di Kota Atlas (dibukukan dalam Antologi Cerpen Mutiara Berdebu), Rumah Kertas (dimuat Majalah Santri), Puing Kelam Kota Lama dan Langit Muram di Atas Tanah Tak Bertuan (dimuat di Majalah Magesty). Puisi Parade Mimpi di Negeri Dongeng pernah dimuat di Media Mahasiswa dan Puisi Embun Pun Kehilangan Tempat Berpijak dimuat di Eramadina. Selain itu coretan-coretan penulis bisa di akses di blog penulis http://telagainspirasiku.blogspot.com/ . untuk menghubungi penulis, bisa melalui email adibsusilo2011@gmail.com atau akun Facebook M Adib Susilo
Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca, agar bisa memperbaiki kualitas tulisan penulis menjadi lebih baik lagi. Serta harapannya semua komentar yang ada akan melatih dan melecut semangat penulis untuk terus berkarya. Salam Karya!

Thursday, July 11, 2013

#3 Kisah Ramadhan Pejuang Pena Semarang

Rinduku cintaMu,
Oleh Aqil Zulfikar
 

Memasuki Romadhon kali ini seperti melihat diriku sendiri yang sedang berada di dalam bus kota yang penuh sesak. Penuh akan orang-orang dengan berbagai macam kepentingan dan tujuan. Orang-orang itu aku tak mengenalnya, mungkin saja mereka akan turun ditujuan mana saja yang mereka kehendaki sesuai dengan apa yang telah mereka niatkan saat hendak menaiki bus ini.
Di sampingku aku melihat ada seorang guru matematika. Beliau menenteng sebuah tas kulit warna coklat .Aku masih dapat melihat sisa peluh yang menempel di dahinya karena memang cuaca yang cukup panas sedang menyelimuti Semarang. Saat ku tanya hendak ke mana, beliau menjawab hendak pulang menemui keluarganya yang sudah menunggu di rumah.
Selama dalam perjalanan beliau sempat bercerita bahwa beliau mengajar para muridnya supaya pandai, selain itu sebagai aktualisasi akan ilmu yang beliau miliki, agar ilmu itu bermanfaat, bukankah, ilmu yang bermanfaat termasuk dalam amal jariyah?!!, amal yang tidak akan terputus oleh kematian . Dan semuanya diniatkan karena Alloh S.W.T, Beliau juga mengatakan kalau pernah mendengar dalam sebuah ceramah yang menjelaskan bahwa perginya seorang suami mencari nafkah untuk keluarganya adalah termasuk jihad fi sabillillah. Maka, ketika nantinya menerima hasil jerih payahnya mengajar, akan sepenuhnya diberikan untuk kepentingan keluarganya.

#2 Kisah Ramadhan Pejuang Pena Semarang

Ramadhan: Sekolahnya Kekasih Allah

oleh: Syah Azis Nangin

Ramadhan merupakan bulan yang ditunggu-tunggu oleh kaum muslimin. Hal ini karena terdapat banyak sekali fadhilah yang dapat diperoleh di dalamnya. Di antaranya bahwa di bulan Ramadhan amalan wajib dilipatgandakan pahalanya sebanyak tujuh puluh kali lipat sedangkan amalan sunnah disamakan dengan pahala amalan wajib di luar Ramadhan. Padahal di luar bulan Ramadhan, setiap kebajikan pahalanya dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Rasulullah SAW menyebutkan, “Dalam bulan biasa, pahala setiap kebajikan dilipatgandakan 10 kali lipat, namun dalam bulan Ramadhan pahala amalan wajib dilipatgandakan 70 kali lipat dan amalan yang sunah disamakan dengan pahala amalan wajib di luar Ramadhan.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu pada umumnya umat Islam berlomba-lomba meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya

Wednesday, July 10, 2013

#1 Kisah Ramadhan Pejuang Pena Semarang



Selangkah untuk Menyapa

Oleh : Raddy Ibnu Jihad

Senyuman Ramadhan kembali menyapa dalam kehangatan yang menyertai, setelah Sya’ban berpamit untuk meninggalkan kita. Sobat apa yang telah kita siapkan untuk menemui keramahan Ramadhan?

Serangkaian ibadah yang telah rasulullah ajarkan bukan menjadi sekedar anjuran atau perintah semata. Kenapa coba? Pada dasarnya Allah swt mengutus rasul-Nya untuk menyampaikan risalah suci ini bukan tanpa alasan atau tujuan yang jelas. Bahkan bukan untuk memberikan beban kepada makhluk-Nya, melainkan bentuk kasih sayang yang tak pernah kita renungkan.

Mengapa Allah meminta manusia untuk berpuasa? Mengapa Allah meminta kita untuk membaca Al-Qur’an? Mengapa Allah meminta kita bersedekah? Mengapa Allah meminta kita untuk Sholat? Mengapa Allah meminta kita untuk menuntut ilmu? Mengapa Allah mencipta manusia, lalu meminta manusia untuk melakukan ini dan itu?