Oleh: Fetrin Arisa Ningrum
Sudah hampir satu setengah tahun, saya melalui jalan yang sama menuju klinik
tempat saya bekerja dengan sepeda motor setia saya setiap harinya, setiap pagi.
Wajah-wajah masyarakat sekitar berlalu lalang di sepanjang jalan yang hanya
berjarak 2 meter saja dari rel Kereta Api dan sangat dekat dengan Stasiun
Tawang Semarang. Sungguh begitu banyak pemandangan yang mewarnai sepanjang
jalan itu, karena hampir 75% jalan yang cukup panjang itu dijadikan tempat
berjualan oleh penduduk sekitar, meski jika siang tiba hanya tinggal beberapa
orang saja yang masih menjajakan barang dagangannya, agak berbeda dengan pasar-pasar
di daerah lain yang bisa tetap aktif hingga malam menjelang. Ada beberapa sosok
yang saya amati, meski sebenarnya bukan hanya sosok penjualnya, tetapi barang
dagangannya juga. Ada ibu-ibu yang menjual sayur dan buah, bapak-bapak penjual
ikan yang segar-segar, ada seorang nenek yang menjual kain dan pakaian bekas,
dan para penjual lainnya yang sudah biasa kita lihat di setiap pasar
tradisional pada umumnya. Namun, ada satu sosok yang amat saya soroti, setiap
pagi, setiap hari, seakan tak pernah bosan, duduk seorang pria yang usianya saya
perkirakan sekitar 30 tahun-an, berperawakan sedang, berjanggut tipis dan
selalu memakai kopyah di kepalanya. Bapak itu setiap harinya menjual
berliter-liter susu sapi segar yang dibungkus dengan plastik putih yang
berukuran kecil hingga sedang. Ya, beliau adalah seorang penjual susu.
Setiap pagi selama satu tahun lebih itulah saya hanya bisa melihat
bapak-bapak penjual susu itu sambil sambil mengendarai sepeda motor, jadi
kemungkinan setiap pagi itu saya melihatnya dalam waktu kurang dari 10 detik.
Namun dengan waktu beberapa detik itu bagi saya sudah sangat memberi cukup
iktibar, pelajaran berharga bagi kehidupan saya. Padahal saya belum pernah
membeli susu di tempat itu, belum pernah berbicara dengan bapak itu, ya, hanya
dengan melihat tingkah laku, gerak-gerik bapak itu setiap saya lewat di depan
bapak itu, saya selalu merasa mendapat angin segar, terkadang juga hati yang
berdesir, sekali lagi, hanya dengan melihat tingkah lakunya saat itu dan hanya
dalam waktu beberapa detik saja.
Setiap kali saya melewati bapak itu, sebenarnya ingin sekali rasa hati
untuk berhenti, sekedar membeli sebungkus plastik kecil susu sapi itu.
Sebenarnya saya memang eneg dengan
susu sapi, tapi jika diberi atau dicampur dengan coklat saya juga doyan. Tetapi selalu saja, tidak jadi,
entah mengapa sulit sekali rasanya untuk menghentikan laju motor saya ini,
meskipun tidak ada seorang pembeli sekalipun. Jika sedang ramai pembeli saya
berkata dalam hati, “Ah, banyak yang beli, nanti saya bisa terlambat..”. Namun
entah mengapa, meski tidak ada seorang pun pembeli dan sebenarnya masih ada
setengah jam sisa waktu sebelum saya dikatakan terlambat, tetap saja, saya
merasa susah untuk berhenti di tempat itu.
Sungguh bukan karena saya merasa jijik dengan lingkungan sekitar penjual
susu itu, bukan pula karena penampilan penjual susu itu yang membuat saya
enggan membeli susu di tempat itu. Tetapi karena saya merasa minder, malu,
rendah diri atau kata-kata sejenisnya pada bapak itu. Pasti banyak yang bertanya
dalam hati mengapa saya bisa minder hanya dengan seorang penjual susu? Bukankah
saya seorang sarjana dan mempunyai pekerjaan yang cukup baik di sebuah klinik?
Lalu mengapa, apa sebabnya hingga saya merasa minder dengan penjual susu itu?
Bapak-bapak itu, sebut saja Abdullah.. Karena saya yakin bahwa beliau
seorang hamba Allah. Bagaimana tidak disebut sebagai hamba Allah, jika setiap
pagi, setiap kali saya melihat beliau, dari wajahnya selalu terpancar cahaya,
tingkah lakunya yang santun saat berhadapan dengan para pembelinya dan mushaf
Al-Qur’an yang berukuran kecil selalu terlihat di tangannya, selalu dibacanya
saat sedang tidak ada pembeli. Subhanallah.. Itulah yang membuat saya merasa
minder pada beliau. Saya yakin, derajat/ tingkatan beliau dalam Pandangan Allah
pasti lebih tinggi, jauh lebih tinggi, dibandingkan dengan saya.
Saya yang terkadang masih suka menunda melaksanakan sholat dengan dalih
pasiennya belum pulang, padahal pasien sudah tinggal menunggu obat dari apotik,
takut kalau tiba-tiba ada pasien datang dan alasan-alasan yang sebenarnya masih
kurang kuat untuk menjadi alasan menunda waktu untuk melaksanakan sholat tepat
waktu. Atau terkadang tidak lupa membawa mushaf Al-Qur’an di tas tetapi
seakan-akan tidak ada waktu untuk membacanya walau hanya 5 menit, namun
mempunyai cukup banyak waktu untuk mengobrol dengan rekan kerja, untuk makan
dengan santai dan menemani pasien di UGD yang sebenarnya sudah tidak masalah
jika ditinggal, karena tindakan medis sudah selesai, hanya menunggu proses administrasi
saja. Selalu saja banyak alasan.. Astaghfirullahal’adzim.. Sungguh, hamba belum
bisa mempergunakan kesempatan waktu yang Engkau berikan dengan sebaik-baiknya,
seoptimal mungkin. Ampuni hamba Ya Allah.. Aamiin..
Sungguh berbeda sekali dengan saya, jika saya mempergunakan waktu luang
di saat jam kerja untuk mengobrol dengan rekan kerja, membaca buku atau hal-hal
lain yang sebenarnya bisa diganti dengan kegiatan yang jauh lebih bermanfaat
untuk akhirat saya, penjual susu itu selalu mempergunakan waktu luangnya untuk
dzikrullah.. Suatu saat saya pernah melihatnya sedang memegang tasbih, atau
jika tidak dengan tasbih terlihat jari-jarinya bergerak tanda berdzikir. Di
lain waktu pun saya pernah menjumpainya sedang tadarus/ membaca Al-Qur’an,
meski tidak terdengar suaranya. Rasa-rasanya tidak pernah sekalipun saya
melihat beliau sedang melamun atau duduk terdiam di kiosnya itu sambil ber-SMS
atau bertelepon ria. Sungguh manajemen waktu yang baik dan sebuah pemandangan
yang indah di tengah zaman yang memprihatinkan ini.
Allah SWT berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” [QS. Al-Hujuraat (49): 13].
Sungguh, hanya Engkau yang Tahu betapa rendah dan hinanya hamba di
hadapan-Mu, Ya Allah.. Jujur, di kedalaman hati saya, saya sungguh merasa
minder dengan seorang penjual susu yang sholeh itu. Saya benar-benar banyak
belajar dari beliau, meski tentunya beliau tidak menyadarinya. Ya, hanya dengan
melihat atau menyaksikan akhlaq beliau yang begitu indah.. Belum dari
kata-katanya atau bahkan tindakan nyata yang ditujukan untuk saya.
Saya benar-benar kagum dengan pribadinya, jika bisa dibilang saya
fansnya.. Bukan lelaki yang berparas rupawan, yang gaya rambutnya selalu
mengikuti trend terkini (yang sebenarnya menurut saya jauh dari indah bila
dilihat), yang saya kagumi, melainkan lelaki atau ikhwan yang berhati mulia dan
berakhlaq indah yang selalu membuat hati dan pandangan saya terasa adem. Tetapi
jangan salah sangka saya hanya mengagumi, nge-fans dengan akhlaq beliau, bukan
suka, naksir apalagi cinta pada beliau, karena saya yakin beliau pasti sudah
berkeluarga.. J Bukan nge-fans pada orangnya, melainkan pada tingkah lakunya, akhlaqnya
dan kebaikan agamanya. Jika Anda juga memiliki hal ini, mungkin saya pun akan
kagum, nge-fans pada akhlaq Anda, bukan pada diri Anda. Pada objeknya bukan
subjeknya, masih ingat pelajaran Bahasa Indonesia saat kita SD dulu, kan? ^_^
Sungguh, bila kita lebih jeli, akan ada suatu peristiwa, kejadian, maupun
seseorang di sekitar kita yang dapat kita ambil sebagai iktibar, pelajaran
berharga untuk hidup kita. Karena kita sedang menempuh study yang tiada pernah
lulus hingga waktu yang telah Allah tentukan, di Universitas Kehidupan ini.
Waktu yang telah Allah tentukan bagi hamba-Nya itu adalah kematian. Kita bisa
disebut lulus bila setelah kita meninggalkan Universitas Kehidupan (dunia) ini,
amal ibadah yang kita lakukan di dunia ini cukup sebagai bekal untuk ke negeri
abadi dan bisa menyelamatkan diri kita dari siksa dan azab kubur serta api
neraka yang menyala-nyala. Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka
disebut Gatot (gagal total) dan siksa yang berat silih berganti. Na’udzubillahimindzalik..
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran." (QS. An-Nahl: 90).
"Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan
tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang berakal." (QS. Al-Baqarah:
269).
Suatu pagi, entah esok pagi, lusa atau beberapa hari lagi, saya akan
memberanikan diri menghentikan sepeda motor saya di tempat itu dan bertanya,
“Pak, beli susu coklatnya satu, yang putih satu. Harganya jadi berapa, Pak?”.
Entah apa yang akan menjadi jawaban Abu Abdullah itu.. Dan entah, susu murni
yang tidak dicampur apa-apa itu, akan saya berikan kepada siapa? Karena sebenarnya
saya eneg alias tidak doyan.. Ada yang mau? J
Detik-detik
menunggu Adzan Dhuhur,
Bumi Allah, Semarang, 24 Desember
2012
Biografi Pengarang
Nama
saya Fetrin Arisa Ningrum. Ingin sekali memakai nama Fetrin Az-Zahra sebagai
nama pena saya. Lahir di Semarang, 4 Februari 1988. Saya seorang perawat di
sebuah klinik swasta di Semarang. Sebelumnya sejak tahun 2009 saya suka menulis
di catatan FB meski tidak sering juga. Namun baru-baru ini mulai PD mengirimkan
tulisan saya ke publik dan tidak lama ini telah mengirimkan cerpen pertama saya
di Sayembara Menulis yang diadakan oleh Ust. Burhan Sodiq. Kisah Seorang
Penjual Susu ini merupakan cerpen kedua saya yang saya kirimkan ke publik dan
Saya ingin berbagi melalui blog lingkar pena. Saat ini saya memang lebih
menyukai membaca dan mendengarkan dibandingkan dengan menulis. Namun semoga
suatu saat saya juga akan menyukai menulis sama seperti kesukaan saya terhadap
membaca dan mendengarkan. Semoga suatu saat saya bisa juga menjadi penulis
hebat seperti penulis idola saya, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa dan Kang Abik..
Aamiin,, Insya Allah..
Kontak:
akhwat_fan@yahoo.co.id (FB dan
twitter) dan annisa.fetrin@gmail.com
(e-mail).
Syukron.
Syukron sudah memuat tulisan saya.. Jadi, malu.. Masih banyak tulisan yang salah ketik.. Jazakumullahu khoiron katsiron.. :)
ReplyDeletesetelah dapat iktibar terus bagaimana ukh? :D
Deletesip ngga masalah yang penting mau menulis dan berani mempublikasikan..
ReplyDelete