Oleh: Lala di Batas Maya
Kaderisasi FLP Semarang
Takbir telah dikumandangkan semalaman hingga pagi ini. Orang-orang beramai-ramai melangkahkan kaki ke tempat-tempat penyelenggaraan sholat Ied, termasuk aku. Masjid yang ku tuju dekat dengan rumah, jadi tidak membutuhkan waktu lama untuk ke sana. Timbul pertanyaan dalam hatiku. Di mana bentuk pengorbananku?
Sudah 22 tahun usiaku dan setahun lebih masa kerjaku, tetapi belum sekalipun aku ikut ‘menyumbangkan darah’ untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lembar demi lembar yang ku dapat ibarat segelas air yang jatuh di gersang pasir. Semua hilang tanpa sisa. Untuk urusan mata, perut, dan dahaga sosialita. Terbersit pertanyaan dalam kepalaku, pengorbanan harta macam apa yang bisa aku pertanggungjawabkan pada-Nya?
Takbir berkumandang silih berganti dengan pengumuman bahwa sholat ‘Ied akan segera dilaksanakan. Jama’ah di masjid telah berdatangan. Sebagian masih berdiri mengantri shof untuk sholat. Setelah semua berdiri dan merapatkan barisan, mulai terlihat ruang kosong untuk menambah shof. Kembali timbul pertanyaan dalam diriku, sudahkah ku korbankan keluanganku untuk jama’ah Islam?
Rukun demi rukun mulai dilaksanakan mengikuti gerakan imam. Anak-anak sampai orang tua khusyuk dalam diam. Hingga sampai waktu khotbah. Lima menit berlalu, semua masih terpaku, sepuluh menit kemudian beberapa mulai gelisah. Beberapa mulai terkantuk-kantuk. Sungguh mengherankan bagiku. Banyak orang menghabiskan berjam-jam untuk tv tanpa bosan, tetapi sulit mempertahankan antusiasme dalam sedikit waktu untuk mengikuti pembelajaran.
Hewan-hewan mulai gelisah. Tidak ada air di dekat mereka. Mungkin panitia lupa. Ironisnya, ada seekor kambing yang kulihat meminum air seninya sendiri.
Saat tiba waktu penyembelihan, ada kesalahan yang dilakukan oleh panitia kurban. Seekor kambing terakhir didekatkan pada tempat penyembelihan. Kambing itu pun mengembik sangat lirih sambil memberontak. Kambing itu seperti menangis. Sungguh miris.
Satu pelajaran terakhir hari ini, untukku. Jika nurani hewan saja tergerak saat melihat temannya tersakiti, mengapa aku masih merasa biasa saja melihat saudara-saudara seiman yang terbunuh di Palestina?
‘Adakah pengorbanan yang telah ku lakukan?’
aku suka dengan gaya bahasa anda
ReplyDelete