Saturday, June 28, 2014

RAMADHAN DI NEGERI GINGSENG

 Oleh Yaya Hikmatul Qolam
     

       Hampir lima tahun bekerja di sebuah perusahaan swasta Korea di Semarang, membuatku punya sebuah keinginan. Suatu saat aku bisa mengunjungi negeri yang banyak dipuja kaum remaja karena terkenal kegantengan dan kecantikan artis-artisnya. Lama menunggu, hingga akhirnya, sekitar bulan Juli 2013 kemarin aku dan bersama 9 orang karyawan lainnya berkesempatan mengunjungi negeri Gingseng tersebut dalam agenda kunjungan ke kantor pusat di Seoul-Korea.
            Senin 15 Juli 2013 pukul 18.05 pesawat kami berangkat dari Bandara Ahmad Yani Semarang menuju Jakarta. Di Jakarta nanti kami akan bergabung dengan beberapa teman di kantor yang ada di Jakarta untuk langsung terbang ke Seoul-Korea. Perjalanan dari Jakarta ke Korea dimulai pukul 22.05 menggunakan pesawat Korean Air dari Bandara Soekarno-Hatta. Dan tiba di Incheon Airport Seoul pukul 07.00 keesokan harinya. Sebenarnya perjalanan hanya membutuhkan waktu tujuh jam. Tetapi, karena perbedaan waktu sekitar dua jam, menjadikan kami sampai di Seoul pukul 07.00 dari yang seharusnya pukul 05.00.
            Jika melihat waktu yang baru jam 7 pagi, seharusnya matahari tidak setinggi ini. Tapi, karena bulan ini di Korea sudah memasuki musim panas, dimana subuh jika di Indonesia sekitar pukul 04.45, adzan subuh di sini bisa berkumandang pukul 03.30. Itu keterangan yang kudapat dari Kim Dong Hui, seorang teman kantor yang asli korea namun karena sudah lama tinggal di Semarang dia bisa berbahasa Indonesia meski agat terbata-bata, yang kebetulan ikut dalam tim rombongan kita. Aku memicingkan mata ketika melihat matahari yang jika di Indonesia jam 7 masih baru saja mau menanjak, namun di sini sudah agak tinggi. Hampir seperti jam 10 waktu Indonesia. Aku sedikit menyerukan sumpah serapah dalam hati. Menyadari kekecewaanku ketika di pesawat tadi Kim sudah mengingatkanku untuk makan sahur lebih banyak agar bisa menjalankan puasa di musim panas Korea. Namun, gara-gara keenakan tidur, aku mengabaikan peringatan Kim. Aku hanya meneguk segelas kopi dan memakan sepotong kue kecil di pesawat.
            Dari Airport, kamu di antar ke Gangnam City Hotel di daerah Seocho-Gu. Hotel yang letaknya tidak jauh dari kantor kami di Seoul. Kami diberi waktu sampai tengah hari untuk sekedar mandi dan persiapan menuju ke kantor. Akan ada penyambutan tamu yang di lakukan di kantor. Di satu sisi, aku senang. Karena akan bertemu dengan teman-teman yang selama ini hanya berinterakti lewat email, chatting dan sesekali lewat telphon karena keterbatasan bahasa yang kami gunakan. Namun, di sisi lain, sepertinya akan ada warna buram untuk raport ibadah puasaku di bulan ramadhan tahun ini.
            Dari lantai lima kamar tempat kami menginap, aku memperhatikan kota Seocho-Gu yang cukup ramai. Sepertinya, apa yang terjadi tidak seperti apa yang aku inginkan. Kesempatan untuk bisa berkunjung ke Korea yang selama ini selalu kunanti ternyata berada pada waktu yang kurang tepat. Di musim panas yang bertepatan dengan bulan ramadhan.
            "What??! 35°C, real feel® 43°C, humidity 81%" mataku membelalak seketika Kim memberitahu berapa suhu panas di Korea sekarang. Mobil jemputan yang akan mengantar rombongan kita ke kantor sudah menunggu di depan hotel. Untuk kesekian kali aku mengurut dada. Jika lapar, haus dan panas tadinya kukira akan menjadi penghambat paling berat untuk menjalankan ibadah puasa di negeri gingseng ini, ternyata itu salah. Masih ada hal yang jauh lebih merepotkan untuk kulalui. Tampaknya, setan di sini tidak perlu bekerja ekstra. Karena, iklimnya memang terdesign untuk memudahkan kinerja setan. Sepanjang perjalanan ke kantor, pemandangan yang lebih sering kulihat adalah lalu lalang orang-orang berpakaian minim. Bercelana sependek-pendeknya dengan baju yang setipis-tipisnya adalah hal biasa bagi masyarakat sini. Sebagai laki-laki normal, godaan itu jauh lebih berat jika dibandingkan harus menahan lapar dan haus selama kurang lebih 18 jam.
            Sampai di Kantor, kami sudah disambut dengan meriah. Senyum-senyum hangat para teman seprofesi membuat kami merasa nyaman. Aku terpaksa menelan air liur saat melihat kue-kue yang beraneka ragam terhidang di meja. Harus kuakui, sekalipun orang Korea tidak banyak yang tau bahwa memuliakan tamu adalah salah satu sunnah rasul, tapi cara mereka untuk menjamu tamu memang patut diacungi jempol.
Seorang karyawan yang bernama Andrea mempersilahkan kami untuk mencicipi suguhan yang dihidangkan. Dengan bahasa korea terbata-bata dan pernah diajarkan oleh Kim di kantor, aku menjawab "Aaaaa, gwencanayo ajuma nim. Chonen geumsik i yeyo" yang artinya kurang lebih "Aaaah, Tidak apa-apa Bu, tidak usah usah, saya lagi puasa".
            Andrea masih dengan mata terbelalak seakan tidak percaya balik menjawab "Geumsik? chincha? Aigoo, ne?aaaah ok gwencana". Yang artinya "Hah, puasa? Masa sih? ya ampun, oke lah, ? oke, tidak apa-apa"
            Kim yang sedari tadi duduk di sebelahku tersenyum geli. Dengan sambil memamerkan kelezatan kue yang dimakannya. Aku kembali menelan ludah dengan masih sedikit menggerutu dalam hati dengan ucapan sumpah serapah dalam hati pada Kim. Aku meniupkan udara dari mulut yang melebar ke telapak tangan. Kemudian mencium telapak tanganku. Uh.! Harum kasturi yang memenuhi rongga mulutkupun semakin dahsyat.
            Aku fikir, hari pertama di Korea akan kita habiskan hanya untuk beramah tamah dengan tuan rumah. Tapi aku salah. Meskipun hari pertama, kami disibukkan dengan meeting-meeting panjang yang menguras otak dan tenaga. Berharap Korea akan memberikan kita excuse dan toleransi pada kita yang berpuasa adalah hal yang mustahil. Meski kita jauh-jauh hari telah mengkomunikasikan bahwa kunjungan kita ke Korea bertepatan dengan bulan Ramadhan yang mewajibkan kita umat muslim harus berpuasa, tidak serta merta memberi mereka pengertian sepenuhnya.
            Hari pertama di Seoul kuhabiskan dengan tenaga yang terseret-seret. Hingga jam delapan malam kami telah kembali ke hotel dan persiapan untuk berbuka puasa. Dalam seumur hidup, ini kali pertama aku menjalankan puasa dalam sehari sekitar 17 sampai 18 jam. Menu buka puasa membuat mataku terbelalak. Aku meninju lengan Kim yang sambil melotot. Meminta dia memperhatikan menu makanan dan minuman yang diantar ke dalam kamar.
            Kim tertawa kecil sambil membungkukkan punggung meminta maaf. Dia lupa memberi tahu pada temannya yang mengatur menu makan malam dan buka puasa kami bahwa kami tidak memakan daging babi dan meminum minuman keras. Segera dia menelphon pihak hotel agar segera mengganti menu makanan yang terlanjur tesaji berupa daging babi yang dibakar dan disajikan dengan bumbu tradisional ala Korea serta beberapa botol minuman keras.
            Terpaksa aku melaksanakan shalat magrib dulu setelah sebelumnya meminum segelas teh sambil menunggu penggantian menu buka puasa. Kim tersenyum geli saat aku bersungut-sungut masuk ke kamar mandi karena menahan perut yang sudah keroncongan. Makanan datang ketika aku baru saja selesai shalat magrib. Kim menjamin makanan itu halal. Karena di dapat dari gerai makanan Halal food yang ada di sebelah masjid satu-satunya di kota Seoul. Menunya sederhana sekali. Ayam goreng, nasi putih dan sedikit acar kimci khas korea tanpa campuran minyak babi.
            Setelah selesai menyantap makanan buka puasa, aku menelentangkan tubuh di atas tempat tidur. Nyaman sekali rasanya. Aku menghembuskan nafas lemah. Membayangkan aku akan menghadapi situasai seperti ini terus selama dua minggu ke depan.
            Menjalankan puasa di musim panas, dengan rentang waktu siang antara 17-18 jam sehari, sulit mencari makanan halal, daaannn… Ooohhh… tidaaakkk…..! aku menengok sebentar ke jendela. Memandangi trotoar jalanan dari kamar hotel. Pemandangan fashion wanita-wanita di korea yang identik dengan rok mini, hotpants, serta baju tipis dan ketat membuatku harus benar-benar tahan dengan godaan yang paling berat jika aku mau mengakui bahwa aku adalah laki-laki normal.
            Satu hal yang selama ini tak pernah kusyukuri. Tinggal di Negara yang mayoritas muslim dengan banyak pemandangan wanita berjilbab sehingga mudah untuk menjaga iman dan musim di Indonesia Negara tropis yang cukup nyaman untuk menjalankan ibadah puasa adalah nikmat yang terlupa.

 Seocho-Gu – Seoul – Korea Selatan, menjelang waktu sahur

(seperti apa yang diceritakan teman sekantor)

1 Komentar:

  1. Ass, Mbk Yaya Saya sudah membaca artikel ini dan menarik sekali kebetulan sekali saya juga penggemar hallyu. Mbk Yaya, kalau boleh tahu sudah pernah ke Seoul Palace Restaurant?

    ReplyDelete