Monday, February 16, 2015

Membaca "Sastra"



SEKOLAH MENULIS PERDANA FLP CABANG SEMARANG 2015-2016

Semarang-Muhammad Hafidz Nabawi (Ketua FLP Semarang), membuka acara sekolah menulis perdana setelah dipersilahkan oleh Mahrus, pembawa acara pada hari Ahad, 15 Februari 2015 bertempat di panggung terbuka kampus UNISULA yang terletak di jalan Kaligawe, Semarang, kurang lebih pukul 10.00 WIB. Nabawi membuka agenda tersebut dengan puisi yang dibuatnya pada tanggal 21 Januari 2015, berjudul "Sajak Tak Berirama". Meskipun 14 peserta harus menunggu cukup lama karena seharusnya berdasarkan undangan agenda tersebut dimulai pukul sembilan, mereka masih tetap bersemangat dan sabar. Peserta yang berasal dari pengurus dan wajah baru dari UNISULA dan UNDIP pun tetap aktif meramaikan agenda tersebut. 

Sedikit kendala yang dihadapi adalah adanya pergantian fasilitator karena terjadi miskomunikasi. Seharusnya PJ materi saat itu adalah Lala, akhirnya digantikan oleh PJ Sekolah Menulis dari divisi Kaderisasi FLP Semarang, Syah Azis Perangin-angin. Dia mengawali materi "Membaca Sastra" dengan menceritakan kisah mbak Asma Nadia dari kecintaannya pada tulisan hingga kemudian menjadi penulis seperti sekarang. kisah tersebut didapatnya dari sebuah program di salah satu tv swasta. Kemudian dia membandingkan pengalaman pribadinya ketika dulu mendapati novel pada masa remajanya di tahun 90-an yang menurutnya kurang membawa dampak yang baik pada pembacanya. Berdasarkan kegelisahan yang sama itulah dia mulai menulis dan tertarik dengan FLP di mana sesuai visinya, FLP ingin menyumbangkan literasi yang tidak sekadar menghibur, tetapi juga mencerahkan.


Selanjutnya, masih dalam pengantar, Azis menguraikan kaitan bahasa yang indah dalam Al-Quran, sastra, dan pemaknaan secara hermeneutik. Al Quran dengan bahasanya yang menyerupai bahasa sastra dengan keindahannya tidak lantas menjadikan Al Quran boleh disebut sebagai karya sastra, begitupun dengan cara pemaknaan yang digunakan tidak bisa dari segi sastra saja. Menurutnya, Al Quran tidak bisa ditafsirkan secara hermeneutik karena Al Quran bukanlah produk sejarah yang dibuat untuk dipahami hanya pada kondisi saat turunnya Al Quran. Al Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. merupakan pedoman hidup yang meskipun asbabun nuzulnya dikisahkan di masa lampau, penggunaan hukum di dalamnya masih tetap bertahan sepanjang masa.

Azis kemudian menjelaskan bahwa membaca sastra menurutnya bukan sekedar membaca puisi, cerpen, atau novel, melainkan secara lebih luas mengaitkan hubungan antara membaca dan memaknai setiap tulisan di masa tertentu. Sebagaimana puisi Gus Mus yang cukup singkat, /Tuhan, maaf kami sedang sibuk/ yang mungkin bagi pembaca biasa tidak bermakna apa-apa, namun jika dikaji lebih dalam apalagi dihubungkan dengan sisi religiusitas di masa sekarang pasti akan berbeda. ia menyebutkan bahwa perbedaan dalam "membaca sastra" juga akan berpengaruh dari segi siapa yang membaca. Oleh karena itu, saat sekolah menulis, ia membagi peserta yang hadir menjadi 3 kelompok diskusi, yaitu kelompok budayawan, sastrawan, dan media penerbitan untuk membedah pembacaan puisi "Sajak Tak Berirama" oleh penulisnya sendiri, Nabawi.

Setelah dibacakan ulang, setiap kelompok diberi waktu 10 menit untuk berdiskusi dan membedah puisi tersebut dari sisi budayawan, sastrawan, dan media penerbitan. Hasil diskusi kelompok media penertbitan disampaikan oleh Mahrus dan Ma'dud. Mereka mengatakan bahwa puisi tersebut masih belum layak untuk diterbitkan karena dengan judul yang cukup provokatif (di luar aturan yang umum diterima bahwa sajak seharusnya berirama-red) isi puisi tersebut masih terlalu singkat. menurut kelompok penerbit, setelah penulis mengungkapkan kegelisahannya dalam puisi tersebut, ia lupa untuk memberikan solusi sehingga menimbulkan ruang kosong dalam pertanyaan "Setelah ini harus apa?".

Berdasarkan hasil diskusi kelompok sastrawan yang mengapresiasi dari segi pembacaan puisi dan pemaknaan menyebutkan bahwa secara pembacaan, Nabawi kurang berekspresi dalam menyampaikan puisinya. "Namun, jeda dan penekanan saat membacakan puisinya sendiri sudah cukup baik", kata Syarifah dari UNDIP. Dari sisi fisik, puisi tersebut cukup baik dalam pemberian judul karena judul diambil dari bagian dalam puisi sehingga akan memudahkan pembaca mengaitkan judul dan isi. Puisi tersebut, menurut kelompok sastrawan yang disampaikan oleh Latifah dari UNDIP mengungkapkan tentang penantian penulis terhadap karya dari orang istimewa (bisa lebih dari satu orang-red) yang dikaguminya dan sudah lama tidak menulis lagi. Lewat puisinya yang menurut penulis tak indah karena tak berirama, ia mencoba mengajak orang tersebut (yang karyanya indah berirama) agar bangkit untuk kembali menulis. Masih menurut kelompok sastrawan, puisi tersebut juga baik karena memiliki identitas yang tertuang pada kata /tutuk/ di bait ke tiga. Kata tutuk ini berasal dari bahasa Jawa. Dari pihak media menambahkan bahwa ada baiknya ketika menulis untuk media umum, penulis hendaknya mencantumkan catatan kaki saat menggunakan bahasa daerah dalam karyanya.

Aroma percintaan tercium dalam pemaknaan yang disimpulkan oleh kelompok budayawan. Hal tersebut tidak terlepas dari banyaknya penggunaan kata "cinta" di dalam puisi itu. Menurut kelompok budayawan, kata cinta akan membuat pembaca awam secara lugas memaknai puisi tersebut sebagai kisah percintaan dan pada bait-bait selanjutnya menjadikan pembaca meminta penulis mengambil sikap atas kisah percintaannya, apakah "disegerakan atau dipersilahkan". Disegerakan di sini untuk dilanjutkan ke proses yang halal sesuai syar'i atau dipersilakan menjadi milik orang lain mengingat dari segi agama (Islam) pacaran itu dilarang.
Setelah semua kelompok menyampaikan hasil diskusinya, Azis sebagai fasilitator memberikan evaluasi bahwa kelompok budayawan masih kurang dalam mengkritisi puisi tersebut. Seharusnya dari kelompok budayawan juga memberi penjelasan apakah puisi tersebut menyesatkan/mencerahkan pembacanya. Dari segi penulisan tanggal, Azis juga mempertanyakan kepada penulis apakah menyinggung seseorang. Terakhir, Nabawi memberikan penjelasan mengenai karyanya bahwa puisi tersebut ditulis sebagai bentuk kerinduannya kepada teman-teman FLP yang sempat vakum selama setahun di 2014 untuk terus menulis dan menjadikan karya teman-teman FLP khususnya cabang Semarang dapat dinikmati oleh penulis (Nabawi-red) dan orang-orang pada umumnya.

Agenda sekolah menulis perdana FLP Cabang Semarang ini ditutup dengan diumumkannya open recruitmen FLP yang akan diselenggarakan mulai 15 Maret 2015 sampai 14 Juni 2015. Informasi lebih lanjut bisa dibaca di “open recruitment FLP CabangSemarang


Sajak Tak Berirama"
by Muhammad Hafiz Nabawi


Malu, sajakku tak berirama
Goresan tinta tak berirama, 
tapi bersanding cinta
Sajak yang aku tulis tak berirama, 
tetap bersanding cinta
Sajak berirama darimu masih aku baca, 
ini sajak tak berirama yang masih bersanding cinta

Barisan pertama aku baca, 
seolah tembok kamar pecah berubah pekarangan bunga
Sajak darimu berirama, 
ini sajak tak berirama

Masih, sajak berirama darimu aku tunggu
Luapan- luapan cinta, sajak berirama
Sajakku tak berirama, sajakmu berirama
Sajak tak berirama aku tulis tanpa kata dusta

Sajakmu berirama masih aku tunggu, karena ini sajak tak berirama
Irama- irama yang keluar dari tutuk manismu, sajak berirama
Sajak tak berirama, aku tuangkan dalam sajak berirama
Mana sajakmu yang berirama?
Sajak tak berirama sudah kau baca
Mana sajakmu yang berirama?

Teras mijen, 21 Januari 2015

----FLPCABANGSEMARANG----

2 Komentar: