Monday, July 30, 2012

Catatan Mengantar Buku Ke Kota Wali


Oleh: Syah Azis Prangin

Jalan-jalan ke Demak, kota yang terkenal dengan sebutan Kota Wali memang terkadang menghasilkan 1001 kenangan. Demikian juga yang aku alami hari Ahad, 29 Agustus 2012 bersama teman-teman dari Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Semarang. Di mana saya bersama Roh Agung, Wawan Setiawan, dan Silvia DPS berangkat ke Kota Demak mengantar buku ”Asmara di Atas Haram” kepada Mb Dian Nafi. Beliau merupakan salah satu pembicara bedah buku yang insya Allah akan diselenggarakan oleh FLP Semarang pada hari Jumat, tanggal 03 Agustus 2012 di Gramedia Pandanaran Semarang pukul 15.00 – 17.30 Wib.

Setelah rapat persiapan di Taman Budaya Raden Saleh kami berempat langsung meluncur ke Demak Kota Wali tersebut dengan menggunakan kendaraan bermotor, tepatnya sekitar pukul 10.00 Wib. Karena jalan ke Demak cukup baik dan tidak macat, maka dapat menikmati perjalanan ke TKP. Meski agak panas ditambah keadaan kami yang sedang menjalankan puasa jadi kami hanya memacu kendaraan dengan kecepatan normal sekitar 50 – 60 km/jam.

Sepanjang perjalanan bisa dibilang aku yang di depan. Dan yang lain mengikut di belakang. Sesekali Wawan dan Silvi mendahuluiku tapi setelah mendahului mereka menurunkan kecepatan sehingga aku di depan lagi. Setelah beberapa km memasuki kota Demak, aku mendapat sedikit masalah. Ditilang polisi karena tidak melalui jalur lambat untuk kendaraan roda dua. Sebelumnnya aku sudah merasa ragu dan ingin meminggir, tapi tidak diduga ada sekawanan polisi di depat yang sedang ngumpet di depat dan langsung mencegatku. Aku sedikit protes dengan pak polisinya, kenapa tidak di depan saja mereka langsung mengarahkan pengendara kendaraan roda dua untuk mengambil lajur lambat. Singkat cerita aku tawar menawar dengan polisi dan ketemu angka Rp. 25.000,- sebagai tanda damai.

Sekitar pukul 11.30 wib kami tiba di rumah Mb Dian Nafi dan langsung dipersilahkan masuk ke rumah. Kebetulan rumanya dekat dengan jalan raya dan berada di jantung Kota Demak tepatnya di sekitar alun-alun dan tidak jauh juga dari Masjid Agung Demak. Dengan demikian kami tidak terlalu sulit mencarinya. Kami langsung bercengkrama sejenak sambil memberikan ToR acara bedah buku berikut Novel ”Asmara di Atas Haram” karya Zulkifli L. Muchdi yang rencananya akan dibedah bersama Bpk. Zainul Adzvar, pemarhati sastra / dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.

Di tengah-tengah pembicaraan terdengar kumandang adzan Zhuhur dari menara Masjid Agung Demak. Karena sudah agak siang dan kami juga sudah menyampaikan sedikit banyaknya konsep acara, kami mohon pemit ke Mb Dian. Namun sebelum pulang ke Semarang, kami sempatkan dulu menunaikan Shalat Zhuhur di Masjid Agung Demak.

Ini kali pertama aku sholat di sini. Sebelumnya aku penasaran dengan masjid ini karena masjid ini merupakan peninggalan Kerajaan Demak yang memiliki seribu satu cerita. Salah satu di antaranya adalah tentang Sunan Kalijaga yang membawa pilar masjid tersebut dari Kali Kreo yang ada di sekitar Gua Kreo, Gunung Pati - Semarang. Terlihat di pilar-pilar masjid tulisna beberapa wali songo di antaranya Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Gunung Jati. Saya tidak tahu pastinya apakah pilar tersebut merupakan pilar yang masih asli apa sudah mengalami pemugaran.

Di sekitar masjid juga ada makam raja-raja Demak dahulu, namun kami tidak melihatnya karena cuaca yang masih panas dan lokasi makam yang ditutup pada jam-jam sholat. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Semarang, sejenak kami sempatkan untuk mengambil beberapa photo di sekitar Masjid Agung Demak. Mungkin karena kemarau panjang kolam di sekitar taman terlihat kering. Rerumputan pun ikut kering sehingga pemandangan di sekitar masjid terlihat kurang asri.

Satu pemandangan yang tidak asing di luar depan gerbang masjid adalah banyaknya pengemis yang meminta-minta. Berbicara mengenai pengemis, ada banyak cerita menarik juga tentang pengemis. Satu hal yang menjadi kesepakan kami bersama ketika diskusi tentang pengemis adalah bahwa sekarang mengemis adalah sebuah profesi. Dari beberapa pengamatan yang pernah kami lakukan bahwa para pengemis itu mengemis bukan karena kekurangan uang, tapi menemis adalah pekerjaan yang paling mudah bagi beberapa orang. Hanya duduk di tempat, atau mendatangi orang-orang sambil menyodorkan kaleng atau tangan. Maka uang tersebut akan terisi dengan pecahan-pecaha rupiah. Namun sepertinya pengemislah yang memiliki keyakinan paling tentang rizki, bahwa Allah telah menentukan taqir rizki bagi hamba-hambanya.

Selesai berphoto, kami ke depan rumah Mb Dian Nafi mengambil motor masing-masing karena tadinya masih diparkir di sana. Karena suhu masih cukup tinggi apalagi kami sedang berpuasa, kami duduk-duduk sejenak di dekat Patung Kapal di salah satu pojok alun-alun. Dalam benak kami bertanya, kenapa di sini ada patung kapal. Kami hanya yakin bahwa patung tersebut pasti ada sejarahnya. Di mana kota dulunya dekat dengan laut, namun karena adanya abrasi dan perubahan garis pantai, sekarang Demak sudah terasa jauh dari laut ditambah lagi banyaknya reklamasi di beberapa sisi pantai. Dulu masyarakat Demak mungkin masyaraktnya sebenarnya adalah nelayan yang menjemput rizki dari laut.

Setelah agak dingin, kami melanjutakan perjalanan kembali ke Semarang. Dan alhamdulillah sekitar pukul 14.00 saya tiba di kontrakan dan istirahat siang setelah beraktivitas di tengah-tengah menjalankan ibadah puasa.


Peleburan, 30 Juli 2012
Pukul. 02.00 Wib sambil menunggu sahur

0 Komentar:

Post a Comment