Oleh: Syah Azis Prangin
Jalan-jalan ke Demak, kota yang terkenal dengan
sebutan Kota Wali memang terkadang menghasilkan 1001 kenangan. Demikian juga
yang aku alami hari Ahad, 29 Agustus 2012 bersama teman-teman dari Forum
Lingkar Pena (FLP) Cabang Semarang. Di mana saya bersama Roh Agung, Wawan
Setiawan, dan Silvia DPS berangkat ke Kota Demak mengantar buku ”Asmara di Atas
Haram” kepada Mb Dian Nafi. Beliau merupakan salah satu pembicara bedah buku
yang insya Allah akan diselenggarakan oleh FLP Semarang pada hari Jumat,
tanggal 03 Agustus 2012 di Gramedia Pandanaran Semarang pukul 15.00 – 17.30
Wib.
Setelah rapat persiapan di Taman Budaya Raden
Saleh kami berempat langsung meluncur ke Demak Kota Wali tersebut dengan menggunakan
kendaraan bermotor, tepatnya sekitar pukul 10.00 Wib. Karena jalan ke Demak
cukup baik dan tidak macat, maka dapat menikmati perjalanan ke TKP. Meski agak
panas ditambah keadaan kami yang sedang menjalankan puasa jadi kami hanya
memacu kendaraan dengan kecepatan normal sekitar 50 – 60 km/jam.
Sepanjang perjalanan bisa dibilang aku yang di
depan. Dan yang lain mengikut di belakang. Sesekali Wawan dan Silvi
mendahuluiku tapi setelah mendahului mereka menurunkan kecepatan sehingga aku
di depan lagi. Setelah beberapa km memasuki kota Demak, aku mendapat sedikit
masalah. Ditilang polisi karena tidak melalui jalur lambat untuk kendaraan roda
dua. Sebelumnnya aku sudah merasa ragu dan ingin meminggir, tapi tidak diduga
ada sekawanan polisi di depat yang sedang ngumpet di depat dan langsung
mencegatku. Aku sedikit protes dengan pak polisinya, kenapa tidak di depan saja
mereka langsung mengarahkan pengendara kendaraan roda dua untuk mengambil lajur
lambat. Singkat cerita aku tawar menawar dengan polisi dan ketemu angka Rp.
25.000,- sebagai tanda damai.
Sekitar pukul 11.30 wib kami tiba di rumah Mb Dian
Nafi dan langsung dipersilahkan masuk ke rumah. Kebetulan rumanya dekat dengan
jalan raya dan berada di jantung Kota Demak tepatnya di sekitar alun-alun dan
tidak jauh juga dari Masjid Agung Demak. Dengan demikian kami tidak terlalu
sulit mencarinya. Kami langsung bercengkrama sejenak sambil memberikan ToR
acara bedah buku berikut Novel ”Asmara di Atas Haram” karya Zulkifli L. Muchdi
yang rencananya akan dibedah bersama Bpk. Zainul Adzvar, pemarhati sastra /
dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Di tengah-tengah pembicaraan terdengar kumandang
adzan Zhuhur dari menara Masjid Agung Demak. Karena sudah agak siang dan kami
juga sudah menyampaikan sedikit banyaknya konsep acara, kami mohon pemit ke Mb
Dian. Namun sebelum pulang ke Semarang, kami sempatkan dulu menunaikan Shalat
Zhuhur di Masjid Agung Demak.
Ini kali pertama aku sholat di sini. Sebelumnya
aku penasaran dengan masjid ini karena masjid ini merupakan peninggalan Kerajaan
Demak yang memiliki seribu satu cerita. Salah satu di antaranya adalah tentang
Sunan Kalijaga yang membawa pilar masjid tersebut dari Kali Kreo yang ada di sekitar
Gua Kreo, Gunung Pati - Semarang. Terlihat di pilar-pilar masjid tulisna
beberapa wali songo di antaranya Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan
Sunan Gunung Jati. Saya tidak tahu pastinya apakah pilar tersebut merupakan
pilar yang masih asli apa sudah mengalami pemugaran.
Di sekitar masjid juga ada makam raja-raja Demak
dahulu, namun kami tidak melihatnya karena cuaca yang masih panas dan lokasi
makam yang ditutup pada jam-jam sholat. Sebelum melanjutkan perjalanan ke
Semarang, sejenak kami sempatkan untuk mengambil beberapa photo di sekitar
Masjid Agung Demak. Mungkin karena kemarau panjang kolam di sekitar taman
terlihat kering. Rerumputan pun ikut kering sehingga pemandangan di sekitar
masjid terlihat kurang asri.
Satu pemandangan yang tidak asing di luar depan
gerbang masjid adalah banyaknya pengemis yang meminta-minta. Berbicara mengenai pengemis, ada banyak
cerita menarik juga tentang pengemis. Satu hal yang menjadi kesepakan kami
bersama ketika diskusi tentang pengemis adalah bahwa sekarang mengemis adalah
sebuah profesi. Dari beberapa pengamatan yang pernah kami lakukan bahwa para
pengemis itu mengemis bukan karena kekurangan uang, tapi menemis adalah
pekerjaan yang paling mudah bagi beberapa orang. Hanya duduk di tempat, atau
mendatangi orang-orang sambil menyodorkan kaleng atau tangan. Maka uang tersebut
akan terisi dengan pecahan-pecaha rupiah. Namun sepertinya pengemislah yang
memiliki keyakinan paling tentang rizki, bahwa Allah telah menentukan taqir rizki
bagi hamba-hambanya.
Selesai berphoto, kami ke depan rumah Mb Dian Nafi
mengambil motor masing-masing karena tadinya masih diparkir di sana. Karena
suhu masih cukup tinggi apalagi kami sedang berpuasa, kami duduk-duduk sejenak
di dekat Patung Kapal di salah satu pojok alun-alun. Dalam benak kami bertanya,
kenapa di sini ada patung kapal. Kami hanya yakin bahwa patung tersebut pasti
ada sejarahnya. Di mana kota dulunya dekat dengan laut, namun karena adanya
abrasi dan perubahan garis pantai, sekarang Demak sudah terasa jauh dari laut
ditambah lagi banyaknya reklamasi di beberapa sisi pantai. Dulu masyarakat
Demak mungkin masyaraktnya sebenarnya adalah nelayan yang menjemput rizki dari
laut.
Setelah agak dingin, kami melanjutakan perjalanan
kembali ke Semarang. Dan alhamdulillah sekitar pukul 14.00 saya tiba di
kontrakan dan istirahat siang setelah beraktivitas di tengah-tengah menjalankan
ibadah puasa.
Peleburan, 30 Juli 2012
Pukul. 02.00 Wib sambil menunggu sahur
0 Komentar:
Post a Comment