Oleh Yaya Hikmatul Qolam
Hampir lima tahun bekerja di sebuah perusahaan swasta Korea di Semarang, membuatku punya sebuah keinginan. Suatu saat aku bisa mengunjungi negeri yang banyak dipuja kaum remaja karena terkenal kegantengan dan kecantikan artis-artisnya. Lama menunggu, hingga akhirnya, sekitar bulan Juli 2013 kemarin aku dan bersama 9 orang karyawan lainnya berkesempatan mengunjungi negeri Gingseng tersebut dalam agenda kunjungan ke kantor pusat di Seoul-Korea.
Senin 15 Juli 2013 pukul 18.05
pesawat kami berangkat dari Bandara Ahmad Yani Semarang menuju Jakarta. Di
Jakarta nanti kami akan bergabung dengan beberapa teman di kantor yang ada di
Jakarta untuk langsung terbang ke Seoul-Korea. Perjalanan dari Jakarta ke Korea
dimulai pukul 22.05 menggunakan pesawat Korean Air dari Bandara Soekarno-Hatta.
Dan tiba di Incheon Airport Seoul pukul 07.00 keesokan harinya. Sebenarnya
perjalanan hanya membutuhkan waktu tujuh jam. Tetapi, karena perbedaan waktu
sekitar dua jam, menjadikan kami sampai di Seoul pukul 07.00 dari yang
seharusnya pukul 05.00.
Jika melihat waktu yang baru jam 7
pagi, seharusnya matahari tidak setinggi ini. Tapi, karena bulan ini di Korea
sudah memasuki musim panas, dimana subuh jika di Indonesia sekitar pukul 04.45,
adzan subuh di sini bisa berkumandang pukul 03.30. Itu keterangan yang kudapat
dari Kim Dong Hui, seorang teman kantor yang asli korea namun karena sudah lama
tinggal di Semarang dia bisa berbahasa Indonesia meski agat terbata-bata, yang
kebetulan ikut dalam tim rombongan kita. Aku memicingkan mata ketika melihat
matahari yang jika di Indonesia jam 7 masih baru saja mau menanjak, namun di
sini sudah agak tinggi. Hampir seperti jam 10 waktu Indonesia. Aku sedikit
menyerukan sumpah serapah dalam hati. Menyadari kekecewaanku ketika di pesawat
tadi Kim sudah mengingatkanku untuk makan sahur lebih banyak agar bisa
menjalankan puasa di musim panas Korea. Namun, gara-gara keenakan tidur, aku
mengabaikan peringatan Kim. Aku hanya meneguk segelas kopi dan memakan sepotong
kue kecil di pesawat.
Dari Airport, kamu di antar ke
Gangnam City Hotel di daerah Seocho-Gu. Hotel yang letaknya tidak jauh dari
kantor kami di Seoul. Kami diberi waktu sampai tengah hari untuk sekedar mandi
dan persiapan menuju ke kantor. Akan ada penyambutan tamu yang di lakukan di
kantor. Di satu sisi, aku senang. Karena akan bertemu dengan teman-teman yang
selama ini hanya berinterakti lewat email,
chatting dan sesekali lewat telphon
karena keterbatasan bahasa yang kami gunakan. Namun, di sisi lain, sepertinya akan
ada warna buram untuk raport ibadah puasaku di bulan ramadhan tahun ini.
Dari lantai lima kamar tempat kami
menginap, aku memperhatikan kota Seocho-Gu yang cukup ramai. Sepertinya, apa
yang terjadi tidak seperti apa yang aku inginkan. Kesempatan untuk bisa
berkunjung ke Korea yang selama ini selalu kunanti ternyata berada pada waktu
yang kurang tepat. Di musim panas yang bertepatan dengan bulan ramadhan.
"What??! 35°C, real feel® 43°C,
humidity 81%" mataku membelalak seketika Kim memberitahu berapa suhu panas
di Korea sekarang. Mobil jemputan yang akan mengantar rombongan kita ke kantor
sudah menunggu di depan hotel. Untuk kesekian kali aku mengurut dada. Jika
lapar, haus dan panas tadinya kukira akan menjadi penghambat paling berat untuk
menjalankan ibadah puasa di negeri gingseng ini, ternyata itu salah. Masih ada
hal yang jauh lebih merepotkan untuk kulalui. Tampaknya, setan di sini tidak
perlu bekerja ekstra. Karena, iklimnya memang terdesign untuk memudahkan
kinerja setan. Sepanjang perjalanan ke kantor, pemandangan yang lebih sering
kulihat adalah lalu lalang orang-orang berpakaian minim. Bercelana
sependek-pendeknya dengan baju yang setipis-tipisnya adalah hal biasa bagi
masyarakat sini. Sebagai laki-laki normal, godaan itu jauh lebih berat jika
dibandingkan harus menahan lapar dan haus selama kurang lebih 18 jam.
Sampai di Kantor, kami sudah
disambut dengan meriah. Senyum-senyum hangat para teman seprofesi membuat kami
merasa nyaman. Aku terpaksa menelan air liur saat melihat kue-kue yang beraneka
ragam terhidang di meja. Harus kuakui, sekalipun orang Korea tidak banyak yang
tau bahwa memuliakan tamu adalah salah satu sunnah rasul, tapi cara mereka
untuk menjamu tamu memang patut diacungi jempol.
Seorang karyawan yang bernama Andrea mempersilahkan
kami untuk mencicipi suguhan yang dihidangkan. Dengan bahasa korea terbata-bata
dan pernah diajarkan oleh Kim di kantor, aku menjawab "Aaaaa, gwencanayo ajuma nim. Chonen geumsik
i yeyo" yang artinya kurang lebih "Aaaah, Tidak apa-apa Bu, tidak
usah usah, saya lagi puasa".
Andrea masih dengan mata terbelalak
seakan tidak percaya balik menjawab "Geumsik?
chincha? Aigoo, ne?aaaah ok gwencana". Yang artinya "Hah, puasa? Masa sih? ya ampun, oke
lah, ? oke, tidak apa-apa"
Kim yang sedari tadi duduk di
sebelahku tersenyum geli. Dengan sambil memamerkan kelezatan kue yang
dimakannya. Aku kembali menelan ludah dengan masih sedikit menggerutu dalam
hati dengan ucapan sumpah serapah dalam hati pada Kim. Aku meniupkan udara dari
mulut yang melebar ke telapak tangan. Kemudian mencium telapak tanganku. Uh.! Harum kasturi yang memenuhi rongga
mulutkupun semakin dahsyat.
Aku fikir, hari pertama di Korea
akan kita habiskan hanya untuk beramah tamah dengan tuan rumah. Tapi aku salah.
Meskipun hari pertama, kami disibukkan dengan meeting-meeting panjang yang menguras otak dan tenaga. Berharap
Korea akan memberikan kita excuse dan
toleransi pada kita yang berpuasa adalah hal yang mustahil. Meski kita
jauh-jauh hari telah mengkomunikasikan bahwa kunjungan kita ke Korea bertepatan
dengan bulan Ramadhan yang mewajibkan kita umat muslim harus berpuasa, tidak
serta merta memberi mereka pengertian sepenuhnya.
Hari pertama di Seoul kuhabiskan
dengan tenaga yang terseret-seret. Hingga jam delapan malam kami telah kembali
ke hotel dan persiapan untuk berbuka puasa. Dalam seumur hidup, ini kali
pertama aku menjalankan puasa dalam sehari sekitar 17 sampai 18 jam. Menu buka
puasa membuat mataku terbelalak. Aku meninju lengan Kim yang sambil melotot.
Meminta dia memperhatikan menu makanan dan minuman yang diantar ke dalam kamar.
Kim tertawa kecil sambil
membungkukkan punggung meminta maaf. Dia lupa memberi tahu pada temannya yang
mengatur menu makan malam dan buka puasa kami bahwa kami tidak memakan daging
babi dan meminum minuman keras. Segera dia menelphon pihak hotel agar segera
mengganti menu makanan yang terlanjur tesaji berupa daging babi yang dibakar
dan disajikan dengan bumbu tradisional ala Korea serta beberapa botol minuman
keras.
Terpaksa aku melaksanakan shalat
magrib dulu setelah sebelumnya meminum segelas teh sambil menunggu penggantian
menu buka puasa. Kim tersenyum geli saat aku bersungut-sungut masuk ke kamar
mandi karena menahan perut yang sudah keroncongan. Makanan datang ketika aku
baru saja selesai shalat magrib. Kim menjamin makanan itu halal. Karena di
dapat dari gerai makanan Halal food
yang ada di sebelah masjid satu-satunya di kota Seoul. Menunya sederhana
sekali. Ayam goreng, nasi putih dan sedikit acar kimci khas korea tanpa
campuran minyak babi.
Setelah selesai menyantap makanan
buka puasa, aku menelentangkan tubuh di atas tempat tidur. Nyaman sekali
rasanya. Aku menghembuskan nafas lemah. Membayangkan aku akan menghadapi
situasai seperti ini terus selama dua minggu ke depan.
Menjalankan puasa di musim panas,
dengan rentang waktu siang antara 17-18 jam sehari, sulit mencari makanan
halal, daaannn… Ooohhh… tidaaakkk…..! aku menengok sebentar ke jendela.
Memandangi trotoar jalanan dari kamar hotel. Pemandangan fashion wanita-wanita
di korea yang identik dengan rok mini, hotpants,
serta baju tipis dan ketat membuatku harus benar-benar tahan dengan godaan yang
paling berat jika aku mau mengakui bahwa aku adalah laki-laki normal.
Satu hal yang selama ini tak pernah
kusyukuri. Tinggal di Negara yang mayoritas muslim dengan banyak pemandangan
wanita berjilbab sehingga mudah untuk menjaga iman dan musim di Indonesia
Negara tropis yang cukup nyaman untuk menjalankan ibadah puasa adalah nikmat
yang terlupa.
Seocho-Gu – Seoul –
Korea Selatan, menjelang waktu sahur
(seperti apa yang
diceritakan teman sekantor)