Thursday, November 10, 2011

Senandung Syukur dalam Gemuruh Takbir

Oleh. Raddy Ibnu Jihad*
Sekretaris FLP Semarang 2011 - 2013

Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar
Laa ilaaha illallaahu Allaahu Akbar…
Allahu Akbar Wa Lillaahilhamd…

Gema takbir menggema membelah angkasa raya. Menyerukan semangat akbar kepada Sang Maha Akbar. Angin berhembus menyahut….
Pepohonan ikut berdzikir mengagungkan kuasa-Nya. Gemuruh takbir mengangkasa menyelimuti bumi….

Sebuah hari yang bukan sekedar ritual tahunan belaka, melainkan ritual suci yang dipersembahkan kepada yang Maha Suci. Bercermin dari dua kekasih Allah yang begitu taat dan ikhlas dalam menjalankan titah suci-Nya. Penuh kelapangan, keridhoan, serta keikhlasan penuh yang menyelimuti hati. Nabiyullah Ibrahim a.s. dan Nabiyullah Ismail a.s.


Pagi itu seusai shalat Idul Adha ditunaikan. Segerombolan kambing dan sapi mulai dirapikan barisannya. Mereka siap berjuang untuk menghadap yang Maha Hidup. Gema takbir masih berkumandang, seorang pemuda yang masih mengenakan baju gamis hijau pupus melangkahkan kakinya keluar dari masjid. Ia mengurungkan niatnya untuk melihat tragedi luar biasa itu di masjid, melainkan kembali menuju rumah.


Rumah pemuda tersebut bersebelahan dengan musholla, yang kebetulan di dekatnya telah berdiri pula seekor sapi gemuk berwarna coklat muda yang siap untuk syahid. Selepas berganti kaos, ia kembali menuju halaman depan musholla. Beberapa orang bapak-bapak telah bersiap-siap untuk mengeksekusi sapi yang sedari tadi menikmati makanan lezat dihadapannya (he..he..bukan berarti algojo yang tragis lho..). Kira-kira sepuluh orang sudah bersiap mengelilingi sapi tersebut. Beberapa di antaranya membawa tali yang diselubungkan kedua kakinya. Waw…sekilas bisa dilihat pemandangan yang miris ya…

Salah seorang bapak dengan berdiri di belakang sapi tersebut. Biarpun terlihat garang dan tegas ia tak nampak akan menyakiti makhluk tak berdaya tersebut yang hanya diam pasrah. Semua bapak-bapak telah bersiap pada posisinya, kemudian bapak yang tadi berdiri di belakang sapi tersebut memberikan komando untuk merubuhkan kegagahan hewan tersebut.

“Satu…Dua…Tiii…ga..Allahu Akbar…”, teriaknya bebarengan dengan itu bunyi bruk keras dan limbunglah sapi nan gagah tersebut. Bapak yang mengomando tersebut kemudian menepuk-nepuk pelan punuk sapi tersebut dengan penuh sayang. Ia tak ingin membuatnya merasa kesakitan.

Bapak-bapak yang lain segera mengencangkan ikatan tali dan menambahkan bambu supaya sapi tersebut tak lagi bangun. Dengan susah payah akhirnya sapi tersebut dalam posisi yang tak lagi dapat bergerak. Suara rintihan khasnya terdengar pelan, matanya nampak berkaca-kaca (mungkin kalau manusia nich lagi nangis plus berdo’a kali). Sebagian ibu-ibu yang melihat tak dapat menahan rasa kasihannya hingga air matanya pun tak lagi terbendung. Bahkan salah seorang yang mengumandangkan takbir dalam musholla pun ikut terisak suara dalam takbirnya namapak tak tega juga (deeuu…terlalu didramatisir ya…)

Do’a dipanjatkan kepada Sang Khaliq. Takbir kembali didengungkan menyelimuti prosesi suci tersebut. “Allahu Akbar” Tabir keras yang kemudian mengiringi pisau panjang berkilat mengakhiri hidup sang sapi. Suara khasnya menderu keras saat sebilah pisau tersebut mengiris gelambirnya. Darah mulai menetes jatuh ke bumi. Nafasnya telah tercekat dan sepertinya ajalnya telah datang. Nyawanya telah terpisah dengan raganya. Tubuh gagahnya telah diam tak bergerak, namun darah segar masih memancar dari belahan di lehernya. Lubah tanah yang sengaja digali untuk menimbun aliran darahnya mulai terpenuhi.

Prosesi telah selesai. Pemuda berkaos putih yang sedari tadi telah ikut membantu menghembuskan nafas lega. Ia kembali membantu membereskan peralatan yang tadi telah digunakan. Sebuah proses suci yang dipersembahkan kepada yang Maha Suci.

Keikhlasan oleh orang yang memiliki hewan qurban. Kesediaan orang-orang yang membantu prosesi suci tersebut, serta kesatuan ukhuwah untuk terus saling berbagi dan semakin mempererat kekuatan ukhuwah. Demikian secuplik kisah syukur yang berbalut takbir kebahagiaan menaungi pagi itu. Semoga saja di suatu waktu kita sendiri yang berada dalam posisi pemilik hewan qurban tersebut, kemudian dengan ikhlas memberikannya untuk dibagikan kepada saudara seiman yang membutuhkan.

Afwan…banget jika ceritanya mungkin agak campur aduk, kurang nyambung, dan satu lagi agak aneh…he..he… Moga-moga manfaat…

*Penulis merupakan penggiat sastra FLP Semarang
 Nama pena dari Roh Agung D. Wicaksono
Pemuda yang ingin meorehkan tintanya membangun peradaban yang lebih baik

0 Komentar:

Post a Comment