Friday, July 12, 2013

#4 Kisah Ramadhan Pejuang Pena Semarang



Kesempatan Kedua



Bulan penuh berkah kembali menjumpaiku di peraduan. Saat bulir embun tak mampu lagi berlama-lama dalam keheningannya. Ia menguap, menyatu dengan angin. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku yang tinggal sebentar tuk menjadi embun bagi orang-orang yang mengenalku. Ini lah aku, dalam ketakberdayaanku menjalani takdir hidup. Aku hampir menyerah. Putus asa dalam kubangan kegagalan yang tak ada habisnya. Namun Allah masih memberiku kesempatan untuk sekali lagi membaktikan hidupku bagi orang-orang yang menyayangiku.
Masih teringat air mata ibu yang mengiringi kepergianku. Saat kuputuskan meninggalkan rumah demi melanjutkan hidupku. Meninggalkan adik dan kampung halamanku. Tiga tahun telah berlalu, dan aku merindukan mereka. sangat.
“Jangan pergi anakku, kamu lah satu-satunya harapan ibu. Ibu sudah kehilangan Ayahmu, sekarang Ibu tak ingin kehilangan dirimu. “ kata-katanya kala itu.
“Kak, jangan tinggalin Nadia sendiri,” rengek gadis kecil di samping ibu. Namun, hati ini telah lelah untuk hidup dalam kekurangan. Dengan keinginan kuat merubah nasib, aku pun pergi membiarkan kenangan-kenangan masa laluku tertinggal bersama jejak-jejak langkahku.
Kini tangisan dan rengekan itu menjelma rintihan mimpi dalam tidurku. Menghantui setiap detik yang berlalu. Aku menyesal dulu pernah meninggalkan mereka untuk mengejar sebuah mimpi di kota. Mimpi yang penuh dengan tipu daya yang melenakan setiap manusia.
Di perantauan, aku tak pernah tahu, atau mungkin tak pernah ingin tahu. Bahwa adik dan ibuku sangat membutuhkan keberadaanku. Keberhasilan yang kuraih telah membuatku terlena. Menjadikanku seorang pekerja tanpa kenal lelah. Aku lalai menjalankan kewajibanku terhadap Sang Pemilik Kehidupan, hingga dalam kesenangan dan keberlimpahan harta. Aku ditegur oleh-Nya, Dzat yang Maha Memberi Rizki.
Aku sakit-sakitan, tubuhku kurus ringkik tak berdaya, semua hartaku di bawa pergi pembantu. Semua usahaku dipindah tangan oleh rekan kerjaku. Dan Aku dibuang ke sebuah desa antah berantah yang tak kukenal. Hingga aku bertemu gadis bernama Okta Novitasary. Ia lalu membawaku tinggal di rumah sederhana namun cukup luas untuk ditinggali sendiri.
“Kak Okta sudah pulang, Kak Okta sudah pulang!” teriak seorang anak seraya menghampiri gadis itu. Lalu tak berselang lama, anak-anak lainnya berhamburan mengelilingi Okta dengan wajah polos mereka. 
“Sudah pada makan semua?” tanya Okta pada anak-anak yang dijawab serentak dengan gelengan kepala.
“Kalau begitu, ini kak Okta bawain oleh-oleh. Dibagi yang rata yah.” Katanya seraya mengeluarkan sebungkus hitam nasi.
“Kamu tinggal sendirian dengan anak-anak itu?” tanyaku padanya. Ketika semua anak-anak kembali ke kamar untuk mengisi perut mereka yang kosong.
“Iya. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk mereka.  Mereka adalah orang-orang yang dibuang keluarga, hidup di tengah-tengah kerasnya Jalanan. Keberadaan mereka tak pernah diharapkan masyarakat. Dan aku mengumpulkan mereka di sini. Setidaknya, mereka punya tempat untuk kembali.” Jelasnya seraya tersenyum. Lalu meninggalkanku sendiri di ruangan.
Aku merenungi kembali atas apa yang selama ini kulakukan. Banyak di luar sana, orang-orang yang kehidupannya tak pernah diharapkan oleh orang tua, sedangkan aku? Aku telah menyia-nyiakan keluargaku di kampung halaman. Hatiku terhenyak, tangisku meleleh. Aku telah berdosa pada keluargaku. Aku ingin kembali ke mereka. Aku ingin mencari mereka.
“Sebentar lagi berbuka, ayo. Bersihkan dulu badanmu, mari ......,” kata-katanya terputus. Aku baru teringat kalau kami belum saling kenal.
“Adib, panggil saja Adib” jelasku. Ia pun menuntunku berjalan.
Malam hari rumah itu ramai dengan lantunan ayat-ayat suci Al-qur’an, hatiku tentram mendengarkan bait demi bait yang menyentuh kalbu. Aku merindukan ini semua, dulu ibu lah yang mengajarkanku membaca Al-qur’an. Telah lama aku tak membacanya.
Aku mulai belajar mendalamai kembali ajaran agama pada Okta, belajar arti hidup dari seorang Okta, yang ku tahu belakangan adalah anak orang berada namun kedua orang tuanya telah tiada. Meninggal dalam sebuah kecelakaan. Ini rumah neneknya. Ia ingin menjadikan rumah neneknya sebagai tempat bernaung anak-anak yang tak punya tempat tinggal. Sedang ia bekerja di perusahaan peninggalan almarhum ayahnya. Meski ia adalah pemilik perusahaan, ia tak mau menjadi pemimpin perusahaan, setidaknya untuk saat ini. Ia ingin memulai semuanya dari bawah. Seperti kebanyakan orang memulai kerja.
“Kau punya rumah? Apa keluargamu tidak mencarimu, bila kau tidak pulang ke rumah?’” tanyanya suatu ketika.
“Yah, aku punya. Di kota, punya perusahaan juga. Tapi semua itu kini telah diambil dariku, mungkin itu teguran buatku karena telah melupakan Tuhan. Entah lah. Aku memiliki keluarga di kampung halaman, tiga tahun yang lalu aku meninggalkan Ibu dan Adikku. Aku malu bertemu mereka,” kenangku.
“Allah masih menyayangimu, Mas. Memang, kita sering menganggap kesulitan dan kekuarangan itu sebagai ujian. Padahal sebenarnya, kesenangan dan nikmat itu juga merupakan ujian yang berat. Sekali saja terlena, maka kita akan sulit kembali ke Jalan-Nya. Seperti yang Mas alami mungkin,”
Dengan nasehat Okta, aku pun meminta bantuannya untuk mencarikan keberadaan keluargaku. Karena aku tak mungkin bisa melakukan perjalanan jauh dengan kondisiku kini. Hari demi hari berlalu, dan tak ada kabar dari orang suruhan Okta. Aku hampir putus asa. Namun gadis itu selalu menguatkanku.
Hingga tibalah sebuah surat, aku membacanya. Itu dari orang suruhan Okta. Perlahan kubaca. Dan ternyata ketakutanku selama ini menjadi kenyataan. Ibu dan adikku kini telah pindah, rumah yang dulu kutempati sekarang sudah berpindah tangan. Dan keluarga yang menempatinya tidak tahu ke mana pemilik yang lama pergi. Oh Tuhan, Ujian apa lagi yang akan hamba terima... batinku.
“Mas, jangan bersedih. Masih ada kami di sini. Kami adalah bagian dari keluargamu sekarang. Untuk itu, biarlah takdir yang akan mempertemukan Mas dengan keluarga Mas. Tinggallah disini, dan kita bangun anak-anak ini menjadi anak-anak yang berguna kelak. Mungkin Allah juga yang telah mengatur pertemuan kita. Agar Mas memiliki kesempatan kedua untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab pada keluarga. Ini ujian bagi Mas, apakah akan mengambil jalan yang sama seperti dulu.” Gadis itu menguatkan hatiku.
“Tapi, aku takut memberatkan kalian. Dengan adanya diriku, berarti akan semakin banyak beban yang akan kau tanggung Okta,” kataku menyela,
“Itu tidak akan terjadi, bila kau masih memiliki keinginan bekerja. Aku akan selalu ada untukmu. Kita tanggung semua ini bersama-sama. Bila tidak kita, siapa lagi yang akan memperhatikan nasib mereka.” jawabnya seraya tersenyum. Senyum penuh ketulusan.
Perlahan aku mulai beradaptasi dengan keluarga baruku. Banyak nama-nama yang harus aku ingat. Tapi aku bahagia. Hidup di tengah-tengah mereka dengan segala kekuranganku. Aku berjanji aku akan berusaha untuk terus hidup. Untuk terus memiliki semangat bekerja, demi anak-anak, demi Okta, dan demi hidupku bersama mereka agar tak menjadi beban di suatu hari nanti. Sekali lagi aku ingin hidup untuk memperbaiki kesalahan di masa laluku.
“Kak Adib, biar Rony saja yang ngerjain. Biar kakak istirahat.” Seraya mengambil baju yang ingin aku cuci.
“Terima kasih Rony, tapi biarlah kak adib yang ngerjakan yah.. Kamu anak baik. Mungkin kamu bisa tolong Kakak, bawakan bajunya ke belakang,” pintaku padanya.
“Cepat ke sekolah, ini hari pertamamu kan?” ia mengangguk, tersenyum, lalu pergi. Syukurlah aku masih bisa melihat kebahagiaan di mata mereka. Masih banyak anak-anak yang nasibnya seperti mereka, harus putus sekolah karena alasan klasik. Biaya sekolah yang tinggi. Seperti dulu, saat Ibu tertatih-tatih membiayai sekolahku. Kenangan itu hinggap kembali.
Aku, masih merindukan mereka. Ada penyesalan yang dalam di hati ini. Namun apa lah daya hamba. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berdo’a untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka berdua, di mana pun mereka berada. Aku memohon pada Allah, agar dipertemukan lagi dengan mereka sebelum aku dipanggil menghadap-Nya. Biarlah hidup mengalir sesuai takdirnya. Aku ingin belajar berbagi bersama Okta dan anak-anak di rumah ini. Dengan kemampuanku, aku mengajari mereka sebuah hal-hal baru yang pernah aku alami di kehidupanku. Aku membagi semua kisahku pada mereka, agar tiada lagi anak-anak seperti mereka yang bernasib sama denganku. Terima kasih Okta, engkau lah sumber inspirasiku. Engkau lah penguat jiwaku. Semoga aku bisa menjadi embun bagi tunas-tunas jiwa yang keberadaanya tak pernah diakui oleh masyarakat. 

Langit Kota Atlas, 2013

M. Adib Susilo, Penulis lahir di Lamongan, 6 Juli 1991. Anak kedua dari empat bersaudara. Hobinya adalah membaca dan menulis dan sekarang memiliki hobi baru sebagai peresensi buku. Masih menjalani aktivitas kuliah di IAIN Walisongo Semarang. Coretan-coretannya masih butuh banyak perbaikan, kritik dan saran yang membangun. Dan Alhamdulillah beberapa karyanya, Purnama di Kota Atlas (dibukukan dalam Antologi Cerpen Mutiara Berdebu), Rumah Kertas (dimuat Majalah Santri), Puing Kelam Kota Lama dan Langit Muram di Atas Tanah Tak Bertuan (dimuat di Majalah Magesty). Puisi Parade Mimpi di Negeri Dongeng pernah dimuat di Media Mahasiswa dan Puisi Embun Pun Kehilangan Tempat Berpijak dimuat di Eramadina. Selain itu coretan-coretan penulis bisa di akses di blog penulis http://telagainspirasiku.blogspot.com/ . untuk menghubungi penulis, bisa melalui email adibsusilo2011@gmail.com atau akun Facebook M Adib Susilo
Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca, agar bisa memperbaiki kualitas tulisan penulis menjadi lebih baik lagi. Serta harapannya semua komentar yang ada akan melatih dan melecut semangat penulis untuk terus berkarya. Salam Karya!

2 Komentar:

  1. coba lebih dikembangkan deskripsi tokoh dan tempatnya dan dipertajam rasanya :)
    contoh: putus asa-- kenangan kejayaan di tempat kerja, kebersamaan dengan keluarga mulai samar di mataku.

    #keep writting ya!

    ReplyDelete
  2. ini cerita non-fiksi, ya?
    #hehe.. masih kurang fokus ceritanya, sudut pandang yang masih kabur dan deskripsi yang kurang jelas. Tapi nilai moralnya sudah kena,deh. Terima kasih

    ReplyDelete