Oleh: Adisaputra Nazhar
Ka. FLP Ranting Tembalang, Kadiv. Karya Fiksi FLP Semarang
Semarang (Ahad, 23/10/2011). Pagi yang cerah ketika malam harinya diguyur hujan, rintik-rintik air jatuh ketika awan tidak kuat lagi menampung beban yang memberatkannnya. Ketika rapat rapat kerja dan pelantikan pengurus FLP Semarang akan digelar pagi ini. Tepat 7.30 dari waktu yang dijadwalkan, aku menggelindingkan roda kendaraanku menuju masjid Al-Huda di Perumda Temabalang Baru, persis berserberangan jalan dengan kampus Politeknik Negeri Semarang, kampusku dulu, di man aku menghabiskan waktu tiga tahun lamanya di sana.
Siang sehabis Zhuhur di Masjid Al-Huda di Perumda Tembalang Baru. Hujan turun membasahi permukaan bumi yang sejak lama tidak ia sambangi. Kami Adisaputra Nazhar, Syah Aziz, Roh Agung, Bambang Setyawan, Titi Rohmah, Siti Muawanah, Ropiq Hidayat, Caswitin Arif Mahruz, Syifa Azmy, dan Asep ketika itu harus terjebak hujan dan menunggu sekian lama hingga hujan ini reda. Ada yang aneh dengan hujan kali ini, jika melihat jauh ke timur di mana tujuan kami kesana begitu terang, awan putih pekat menyelubungi sebagian Kota Semarang, tetapi di Tembalang hujan dengan awan hitam legam.
“Hallo akh,” kata Agung dalam panggilan telpon, ia menelpon “sesuatu” untuk menanyakan “sesuatu”. “Di Pucang Gading hujan kah?”
Meski langit kini mendung hitam hujan kian deras, tetapi karuan saja wajah akh Agung jadi cerah. “Di Genuk, Kali Gawe sana tidak hujan,” begitu katanya dengan merona. Hehehee...
“Ya sudah ayo lekas, pakai jas hujannya. Kita berangkat, nanti dijalan juga reda sendiri,” begitu kata Syah Aziz ketua FLP Semarang yang baru dilantik, asupan semangat karena telah dibait tadi masih ditunjukkannya meski hujan.
Aku berdiri di bawah guyuran hujan, teman-teman yang lain berteduh hanya aku yang hujan-hujanan dengan memakai jas hujan lengkap, di sana juga ada ukhti Wiwik yang memakai payung. “Ada-ada saja orang satu ini, ternyata sudah sedia payung sebelum hujan, tetapi kalau naik motor?! payung tidak ada gunanya,” gumamku dalam hati.
Ketika semua telah siap berangkat dan niat sudah terpatri dalam hati, sepertinya hati kami akan berteriak, “BERANGKAATTTT!!!!”. Motor sadah starter, mesin sudah menggebu-gebu sudah ingin melah. Dan....na layau! Hujannya reda, haruskah aku bersyukur untuk keadaan ini? ya sudah, lupakan! Kita berangkat.
Tujuh motor melaju meninggalkan “pos” menuju stasiun pompa bensin terdekat. Maklum, meski hari mendung gini, motor kami lagi “haus” minta diisi bensin. Hehehee... Piss akh. Ketika akan menuju pom bensin, Wawan dan Asep pamit untuk berangkat duluan karena harus mampir dikos teman mereka, janjinya adalah kita bertemu lagi di simpang tujuh Kudus.
Kini tinggal enam motor berjalan beriringan dengan tujuan Kota Kretek demi memenuhi undangan dari mantan perjaka ting-ting sekaligus mantan ketua FLP Semarang, akh Ali Margosim.
Rintangan pertama yang harus kami lalui adalah turunan terjal Sigar Bencah dengan badan jalan yang bergelombang setelah itu melewati jalan sempit ditepi jurang yang curam dengan tebing terjal di atasnya (#lebayy.com). Lepas dari sana, perjalanan kini membelah daerah perumahan yang memang berjubel di sana. Daerah Meteseh, Kedung Mundu, Ketileng dan Klipang memang diperuntukkan sebagai lokasi pemukiman. Dipertigaan didepan SLB Semarang, ada kecelakaan tunggal di mana dua orang remaja putri terjatuh setelah melewati jalan licin habis hujan. Akh Aziz yang ada di barisan depan mencoba untuk menolong kedua remaja itu, tetapi kucegah dan meminta agar semua kembali melanjutkan perjalanan. Sudah ada yang dua orang pria yang menolong mereka, lagipula RSUD dekat dari lokasi tersebut. Masalahnya kita sedang berpacu dengan waktu untuk secepatnya sampai ke Kudus, menurut prediksiku perjalanan ini akan memakan waktu dua jam ke depan.
Laju menderu membelah jalan-jalan aspal yang basah, dua tiga kelokan tajam kami sudah sampai di RSUD Ketileng. Suhu di jalan kala itu bikin gerah para pengemudi. Aspal yang terpanggang panasnya matahari selama enam jam, kalau tidak salah suhu aspal itu mencapai 70˚ C saat panas terik (kata dosenku sih gitu, terserah pembaca mau percaya atau tidak, kalau saya sih percaya saja, kalau tidak ya alamat bakal jeblok nilai ujianku). Kembali ke aspal (#bukan “asli apa palsu” atau abal-abal, ini kita bahas aspal jalan raya). Ok dilanjut, ketika hujan menerpa bumi dan membasahi jalanan, maka udara panas akan terpancar keluar dari aspal jalan, inilah penjelasan ilmiahnya dan juga sifat dari batu alam adalah lambat menyerap panas dan lambat juga melepaskan panas, kira-kria berbanding terbaliklah dengan aluminium dan tembaga.
Kenapa ini jadi malah membahas aspal jalan? ok simak baik-baik kisah selanjutnya.
Beberapa meter dari RSUD sampai di pertigaan Kedung Mundu, kami memilih jalan lurus. Aku sebagai penunjuk jalan, memimpin rekan-rekan melintasi jalan Fatmawati sampai di ujung jalan jalan besar yang mengarah ke Purwodadi. Dari pertigaan itu, kemudi stang kuarahkan ke kiri, menunggu lampu lalu lintas menyala hijau kemudian berbelok kekanan melintasi Jalan Arteri Soekarno Hatta, jika terus ditelusuri jalan ini akan mengelilingi Kota Semarang dari arah utara dan berakhir di Bundaran dekat Indraprasta. Tetapi tujuan kami bukan kesana, hanya dua ratus meter kedepan kami berbelok, kulirik di plank hijau diatas tertulis “GENUK” kemudian ada tanda panah ke kanan. Kukira hanya sekejap saja kami merasakan halusnya jalanan empat lajur dan dua jalur dengan terdapat median jalan ditengahnya.
Setelah pertigaan dari Jalan Arteri tadi, kini kami menyusuri jalan kecil, tapi tidaklah layak disebut sempit. Jalan terdapat dua lajur tanpa median jalan tersebut kurasa sudah layak jika dibandingkan dengan jalan lintas provinsi di Sumatera. Bangetayu, begitulah nama kelurahan dimana kami berada sekarang.
Kini hujan turun lagi, lampu sein kunyalakan sebagai tanda aku akan menepikan tungganganku. Kulirik lima motor dibelakangku juga turut melakukan hal yang sama, menepi untuk memakai kembali jas hujan yang telah dilepas. Gerah..., siapa yang tahan?!
Tidak membutuhkan waktu lama bagiku untuk mengenakan kembali jas hujan, hanya bajunya saja karena celananya masih kukenakan. Oh ya, ada yang lucu jika membahas jas hujan, akh Isnadi teman seperjalananku yang bertindak sebagai goncenger, nebeng atau apalah, yang penting dia bukan penumpang (secara gitu lho, ane bukan supirnya kale...).
Apa sih yang lucu?
Gini gue ceritaian, kita flash back dulu ke belakang, sesaat sebelum berangkat. Akh Isnadi ini dapat pinjaman rain coat dari ukhti Muawannah, karena cuma satu, jadi dibagi dua bersama Syifa. Nah Syifa karena perempuan dapetnya rain coat bagian rok, sedangkan bajunya ada di akh Isnadi.
Jrengg!!
Ketika jas itu hendak dipakai, wah ternyata sobek-sobek dan tidak layak pakai sama sekali, tetapi terpaksa dipakai, daripada basah? Gimana, pilihannya tidak banyak, hujan ketika itu turun deras sekali. Akhirnya akh Isnadi berpakaian “gembel” itu ikut membonceng di belakangku, tapi tidak hanya beberapa jenak saja ia mengenakan “pakaian kebesarannya”, (#ini bukan pakaian kebesaran seperti punya Raja, tetapi sobeknya itu lho yang kebesaraan, hahahaaa... piss akh Isnadi.
“Kenapa dilepas akh?” tanyaku.
“Panas,” begitu jawabnya ngeles, tetapi aku tahu maksudnya, tetapi ini rahasia kita berdua ya akh.
Tadi ceritanya sudah sampai mana? Oh ya di Kelurahan Bangetayu sedang hujan.
Singkat saja, aku sudah mengenakan jas hujan kembali. Perseneling sudah kumasukkan ke gigi satu, motor kugas untuk siap melaju. Tetapi.... aku iba akan sesuatu, akh isandi tidak mengenakan apa-apa untuk berlindung dari gempuran hujan ini, kulihat ada jas hujan nganggur dimotorku.
“Pake jas hujan akh?” tawarku sembari menggodanya.
“Gak usah,” katanya cepat langsung tanggap.
Tak sempat kulihat ekspresi wajahnya waktu itu, hanya dari intonasi suaranya saja sudah membuatku geli. Kali aku harus menahan tawa, tetapi sedari tadi aku menahannya, kapan mau tertawa kalau begini?? Ya sudahlah, hujan pasti akan reda akh, gumamku dalam hati. Saran saya antum berdendang lagu dangdut saja akh sepanjang perjalanan kita, heheheaa “.... baju satu kering dibadan....”.
Supra X-125D tungganganku dengan no. polisi BE 6353 MF kembali memimpin perjalanan, aku ada dibarisan depan lagi, teman-teman jauh tertinggal. “Pakai jas hujan apa mau kondangan mbak? kok gitu lamanya,” gerutuku dalam hati. Jika ditelaah ulang lagi dan dipikir secara matang, wajar jika mereka lama, coz aku lupa kalau kita ini sedang berangkat kondangan. Eh tapi, tunggu-tunggu... masa pake jas hujan saja harus dandan?
Bangetayu.... sesaat nama itu mengganggu konsentrasiku berkendara.
“Rumah ust. Anif itu ada didekat sini,” kata akh Isnadi sesaat sebelum roda kendaraanku menggelinding menyusuri jembatan layang yang melintasi jalan rel kereta api.
Iya benar, pantas aku seperti tidak asing dengan nama kelurahan ini, ternyata kami sedang melintas di kampung halaman senior kami di FLP, Habiburahman el Shirazy.
“Rumahnya belok kiri sebelum jembatan,” tambahnya lagi.
“Antum pernah ke rumah beliau akh?”
“Pernah beberapa kali.”
Melintas diatas jembatan layang, menapaki ketinggian, dalam rinai hujan sekilas rona mataku menangkap pemandangan sudut Kota Semarang yang padat oleh pemukiman disepanjang bantalan rel kereta. Jika hari cerah, laut biru dapat terlihat jelas dari atas jembatan ini.
“Akh, sebentar... ada sms dari ukhti Mua,” kata akh Isnadi seraya menepuk pundakku perlahan.
Sosok yang dimaksud akh Isnadi itu adalah Siti Muawannah. Biasanya nama panggilan itu ada di nama depan, tetapi Ibu Ketua Ranting Ngaliyan ini akrab dipanggil “Mua”, dia sepertinya nyaman dengan panggilan tersebut. Khusus untuk anak-anak FLP, ia “haramkan” memanggil dengan panggilan “Siti”, yang jadi masalah itu ada di Ikhwan. Terkadang nama itu ditambahi oleh akh Aziz dkk, menjadi “Siti Kusnari”. Semua orang yang mendengar nama itu untuk pertama kalinya tidak akan menemukan kejanggalan, tetapi jika ditelaah dengan metode frase, dua kata itu seperti ber-homonim, preet! “Siti Kusnari” akan sama penyebutannya tetapi berbeda akan berbeda makna jika ditulis,” Si tiKus nari”. (Piss ah untuk ukhti Siti, ups! Salah... ukhti Mua).
“Apa katanya?” tanyaku sambil melepas gas motor dan laju kendaraanku mulai melambat
“Katanya mereka ketinggalan jauh.”
“Bisanya?”
“Gak tahu, lebih kita tunggu saja.”
Aku menyanggupi, motor kutepikan ketika telah melewati sebuah dua buah tikungan zig-zag, berbahaya menghentikan kendaraan di jalan menikung. Bila kita berhenti ditikungan, dikhawatirkan akan terserempet oleh kendaraan lain yang melintas, ini akibat pengarauh gaya sentrifugal yang dihasilkan kendaraan ketika berbelok arah. Biasanya arah laju kendaraan tidak bisa sepenuhnya dibawah kendali si pengemudi, karena ada gaya luar yang bekerja. (#Nah kalau bingung dengan apa itu gaya sentrifugal, coba buka-buka lagi buku fisika SMA atau search di google ya.)
Sejenak menunggu, akh Aziz melintas dengan senyum yang sumringah, meski memakai helm, ia tidak lalai dengan ciri khasnya ini. “Tin..tin!” ia ngebel sebegai isyarat, kami melambaikan tangan memintanya untuk terus melanjutkan perjalanan.
Hanya selisih tiga motor, menyusul Beat hitam dengan plat R. Ukhti Totti terlihat sedang asyik memacu tunggangannya meliuk-liuk dipadatnya lalu lintas. Syifa yang menyadari kehadiran kami, gak tahu si Totti melihat kami atau tidak yang jelas ia tidak sedikitpun memperlambat laju motornya ketika melintas persis dibatang hidungku.
Terpaut jarak yang cukup jauh dari rombongan Aziz, Ropiq sudah terlihat dari balik tikungan, lalu menyusul pasangan “emas” akh Mahrus dan akh Agung. Dua orang ini bisa dibilang pasangan yang kontroversial, cara berbocengannya itu lho yang bikin gak tahan, mana tahan?
Dua motor sudah melintas, selang berapa menit, tidak jua ada tanda-tanda kehadiran Revo hitam plat AA yang membawa ukhti Mua dan si Wiwik. Lama menunggu tidak jua tiba, lama menggerutu pun tiada gunanya, mau menyalakan cerutu tetapi haram hukumnya, lalu mau apa?
Beberapa meter lagi memasuki jalur Pantura, itu artinya perjalanan luar kota segera dimulai, tetapi kapan? Dua makhluk yang meminta dinanti ini tidak juga hadir disini.
“ Kok adoh men kacek’e?” akhirnya ada teman juga yang ikut menggerutu.
Lama, lama, lama.... nunggu, menunggu, menanti... kok lama ya?
.....
Akhirnya yang dinanti pun akhirnya kembali, Revo hitam plat AA membawa dua akhwat yang berkacamata namun sedang berkamuflase tiba juga. Mereka sampai, melintas dihadapan kami, lalu dipersilahkan mendahului, (kalau ditaruh belakang lagi, mesti akan tercecer lagi, saya berani garansi!).
Perjalanan dilanjutkan, jarak tempuh perjalanan masih 50 km lagi. Jarak yang lumayan jauh. Tiga motor melaju berjama’ah menuju batas kota dimana rombongan yang lain tengah menunggu kami disana. Saya dan Isnadi, Ukhti Mua dan Wiwik kemudian si pasangan “emas”, yang ternyata ikut pula menanti dua makhluk yang tercecer tersebut tetapi dilain tempat, berselisih jarak beberapa meter dari tempatku menunggu.
Langit hitam menggantung dibatas kota, mega-mega tebal menyelimuti suka duka perjalanan kami. Perjalanan baru akan dimulai, melibas angkernya medan jalan yang dihuni truk-truk tronton dan teman sejenisnya. Hujan kini mulai reda, cuaca sangat mendukung kala itu.
Bagi para musafir, ia dapat merasakan perjalanan ini terasa sangat singkat. Seperti halnya hidup didunia, sekedar mampir untuk minum. Teruntuk bagi penulis, ia tidak bisa melihat akhir dari perjalanan ini. Ia hidup di dunia, sekedar mampir untuk menyediakan minum. (Adisa)
(to be continued)