Bismillahirahmanirahim
Minggu
yang lalu aku pulang dari Kota Garam untuk kembali ke Semarang. Seperti biasa
aku akan naik bis ke Sukun, dan menunggu Mas Dimas (kakakku) menjemput dan
mengantarku sampai kos.
Selama
di perjalanan sepanjang sore itu, seperti biasa juga aku menceritakan apa yang
terjadi selama di rumah, apa yang aku alami atau ia akan menceritakan apa yang
baru saja ia lakukan. Kami mengobrolkan tentang apapun.
Di
ujung cerita, keluar satu kalimat penutup ceritaku. “Kadang aku merasa iri,
mas..”
Rasa-rasanya
setelah mengucap itu beban seperti telah mencair perlahan. Kata yang
sesungguhnya ingin aku beberkan jauh-jauh hari namun kuurungkan.
“Manusiawi”.
Jawaban yang singkat.
Aku
menghela nafas, sehening mungkin agar ia tak mendengarnya. Ya, jawaban seperti
itu sangat klise menurutku.
Tak
lama kemudian, ia justru bertanya: “Sekarang
begini, kamu ingin jadi ikan kecil di kolam yang kecil, ikan kecil di kolam
besar, ikan besar di kolam kecil, atau ikan besar di kolam yang besar?”
“Ikan
besar di kolam yang besar”, jawabku.
“Iya, tapi ikan yang besar dulunya
adalah seekor ikan yang kecil, nok.”
Aku
sedikit terhenyak.
“Kamu saat ini ibarat seekor ikan
yang kecil di kolam kecil. Jika kamu ingin berada di kolam yang besar, jadilah
kamu ikan yang besar dulu.
Mengapa ikan kecil dimasukkan ke
kolam yang kecil? Itu karena sesuai porsinya. Ikan kecil itu akan dibiarkan
tumbuh berkembang di tempat yang sesuai untukknya. Ketika ia sudah mulai besar,
maka manusia akan memindahkannya ke kolam yang lebih besar.
Sedangkan jika ikan besar masih
berada di kolam kecil ia sendiri tak akan berkembang. Ikan yang sudah membesar
itu pun juga akan mengganggu bahkan akan memangsa ikan-ikan kecil yang juga
berada di dalamnya.
Nah kalau kamu jadi ikan yang masih
kecil, tiba-tiba sudah minta dimasukkan ke dalam kolam yang besar, tahu apa
yang akan terjadi?
Kamu tidak akan pernah terlihat.
Mereka akan sulit melihatmu, meski kamu seekor ikan yang indah, mampu berenang
dengan baik, tapi tidak akan banyak yang tahu bahwa kamu ada. Bahkan sangat
mungkin terjadi kamu akan dilahap oleh ikan-ikan yang jauh lebih besar darimu.
Mungkin saat ini memang kamu masih
menjadi ikan kecil di kolam yang kecil. Berusahalah untuk berkembang di dalam
kolammu yang kecil, sehingga mereka akan lebih mudah melihatmu tumbuh menjadi
besar. Setelah engkau mampu membesarkan dirimu di kolam yang kecil, dengan
sendirinya engkau akan dipindahkan ke kolam yang lebih besar.”
Mataku
berkaca-kaca, dan akhirnya tumpah bendungan air mataku ini, untung saja mas
Dimas tak melihatnya. Rasanya semua kata-katanya tadi telah menorehkan makna
yang luar biasa.
“Kamu
sudah selesai membaca novel yang baru saja kamu beli kemarin?”
“Sudah
mas, bagus.”
“Nah,
kamu tahu kan orang-orang besar seperti mereka dulu sekolah dimana? Apakah
mereka sekolah di tempat-tempat yang keren, yang terkenal, mahal dan
bergengsi?”
“Tapi
mas, bukankah dengan sekolah di tempat-tempat yang luar biasa seperti itu lebih
menjanjikan melahirkan generasi-generasi yang luar biasa, pengalaman dan ilmu
yang didapat dari sana lebih banyak.”
“Nok,
mereka yang bisa sekolah di tempat yang luar biasa memang menang satu tingkat
dari orang yang sekolah di tempat yang biasa. Tapi, banyak orang yang cepat
merasa puas bahwa ia bisa sekolah di tempat itu, sehingga seringkali lupa bahwa
langkah-langkah selanjutnyalah yang menentukan masa depan. Dengan perasaan
puasnya itu mereka terlenakan, lebih sering bermain, berfoya-foya dengan
membanggakan status tempatnya bersekolah. Tapi bukankah sudah banyak contoh
nyata, bahwa orang-orang yang tempat tinggalnya di pedesaan, jauh dari
peradaban kota dengan kondisi yang memprihatinkan, kemiskinan, sekolah yang
reot, dan segala keterbatasan lainnya, justru semua itulah pembangkit
semangatnya untuk berjuang sehingga pada akhirnya merekah yang akan menang.
Belajar itu bisa dimana saja, yang terpenting adalah semangat dan niat kita.”
Ya,
kupikir jika aku hanya terus meratapi kegagalanku yang lalu, itu akan membuatku
yang kalah justru semakin kalah. Setiap orang bisa saja kecewa, tapi selalu ada
cara untuk mengelolanya.
Untuk
itu, aku mulai mencoba berbagai cara untuk “membesarkan diri”, mengembangkan
potensi, belajar dari manapun, kepada siapapun dan sampai kapanpun InsyaAllah.
Aku akan membangun cinta menulis agar mampu menginspirasi orang lain seperti
halnya penulis-penulis yang telah banyak menginspirasiku melalui buku-bukunya.
Dan aku memilih Forum Lingkar Pena (FLP) untuk mengembangkan kecintaanku dan
kemampuanku. Kekecewaanku karena terlambat mendapat info open recruitment FLP
kemarin, mungkin karena Allah ingin aku lebih banyak belajar terlebih dahulu.
Aku berharap bisa bergabung dengan FLP untuk belajar bersama dan membangun
ukhuwah serta menemukan iman yang tak sendiri. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Biodata
Nama : Destya Sekar Ayu
Hobi : membaca, menulis dan traveling
Riwayat
Pendidikan: 1. TK Bhayangkari
2. SD N Leteh III Rembang
3. SMP N 2
Rembang
4. SMA N 1
Rembang
5. UNNES
(IKM 2011)
0 Komentar:
Post a Comment