Oleh: Alissyfa
Cinta pertamaku pada FLP bermula sekitar 5 tahun lalu. Ketika itu
menjelang liburan sekolah setelah kelulusan SMP. Bisa dibayangkan roman
kehidupan seorang gadis kecil yang kaku, masih bingung, meraba-raba mana
bentuk, mana topeng untuk dipakai saat berkumpul bersama teman-teman. Agaknya
peristiwa pada cinta pada pandangan pertama ini berbuntut panjangm, hinga kini,
kini aku duduk di semester 6, di sebuah Universitas Islam yang sering kali
kusebut “The Andaluslan University”.
Ketika itu, setelah seusai pulang dari pendaftaran siswa baru di
SMA ! Purwodadi, yang katanya ‘sekolah favorit’. setibanya dirumah, ternyata
kakak laki-lakiku yang sulung juga baru saja sampai kampung halaman, ‘mudik’.
Dulu merupakan istilah asing di telingaku. “Dek, aku bawa buku bagus”. Kata
masku pendek. Buku sedang dengan warna merah tua, bergambar wanita dengan
jilbab diusung judul ‘gara-gara jilbabku’ diujung paling atas buku tersebut.
Tak lupa torehan nama penulis di bawahnya: Asma Nadia, dkk.” Wah novel religi.
Nggak gitu tertarik, paling ceritanya sama, kesedihan, monoton, dan penuh
kepasrahan”. Jawabku sambil bergidik. Masku hanya tersenyum kecil. Lalu
mengusap kepalaku dan meletakkan buku itu ditanganku .
Meski minatku pada tiap genre bacaan selalu berubah-ubah
(tergantung mood), akhirnya kubaca juga buku bernuansa novel tersebut.
Selembar, dua lembar, 15 menit, setengah jam, semalam suntuk kupaksa untuk
menyelesaikan bacaan ‘kecil’ yang memancing rasa penasaranku. Tumpahan kisah
haru, tentang perjuangan mengibarkan ‘panji’ jilbab yang dituturkan sangat
apik, mulai dari Ifa Avianty, Jazimah Al-Muhyi, Maya Lestari G.F, Leyla Imtichonah,
dan Asma Nadia sendiri tentunya, berbekas rasa heran. Heran pada diriku
sendiri. Satu kalimat dari Andi Tenri Dala F, dia bilang : “tiada yang membelenggu kita kecuali pikiran
kita sendiri”. Glek. Aku sadar meskipun pura-pura masih bermimpi. Kendala
akhwat yang satu ini pun sama denganku, kurasa hobi berrmain musik sangat tidak
pantas dimonopoli orang-orang dengan penutup kepala ini.
Takut di cap sok alim? tidak juga. Cuma rasanya terlalu aneh saja,
apa kata orang nanti jika melihat pemain musik, gedombrangan pula, dan gitaris
atau violisnya seorang wanita berjilbab? “Namun
rasanya seperti jatuh cinta pada seseorang tapi tidak bisa mengungkapkannya”.
tutur salah satu penulis di buku tersebut. Begitulah, karena pada dasarnya saya
suka membaca buku bermakna, ( cieee……), maka begitu pun buku tersebut mulai
merasuki rongga hati mengalir deras bersama ketupan semangat penuh inspirasi
dari para penulisnya. Belakangan baru ku tahu semua nama penulis yang telah
kuceritakan itu sebagian besar adalah pejabat FLP di kota tempat mereka
tinggal. Luar biasa. Bisa-bisa nya masku mengganti ceramah hariannya yang
membosankan itu dengan memberiku buku cantik ini. Trik yang cukup cerdas, ( thanks
ya mas, jika boleh kusebut dirimu sebagai agen pengantar hidayah kecil ini
untukku ^_^ ).
Masa orientasi siswa kuputuskan untuk berjilbab. Sedikit banyak aku
bercermin pada kisah-kisah di buku tersebut. Alhamdulilah hingga sekarang,
selalu kutemukan lagi goresan nasihat, saran nan manis dari para dakwatun nisa’
ini tiap kubaca buku tersebut, Andaikata suatu saat nanti aku bisa berdiri pada
mereka, di satu celah sastra yang masih kusimpan di hati, betapa aku berharap
semoga mereka berkenan menurunkan ilmu ‘kanuragan kepenulisan islami’ ini,
untuk kusalurkan ulang pada generasi sesudahku, semoga saja…
Semarang, 7 Juni 2012
22.05 WIB
Lianata Hidayati, bernama pena Alissyfa, Lahir di Grobogan, 21
Oktober 1991, penikmat sastra, penulis-pemula, berminat pada travelling,
literatur, dan dunia berbau seni, terutama seni musik. Saat ini meneruskan
studi di Universitas Islam Sultan Agung Semarang, di Prodi pendidikan bahasa
Inggris, Semester 6, bisa dihubungi lewat email : electra91@gmail.com
0 Komentar:
Post a Comment