Dito Anurogo | 7:25am Sep 17 |
Oleh: Dito Anurogo
Dimuat di: Suara Merdeka, 12 September 2012
Tragedi Shaken Baby Syndrome (SBS) telah lama dikenal. Sebuah tindakan yang kadang tanpa sengaja, tapi membuat celaka baik bayi maupun orang tuanya. Hanya mengguncang-guncang bayi/anak, dapat membuatnya mati. Bapak, ibu, atau pengasuh anak menjadi tersangka utamanya. Tahun 1946, Dr John Caffey berhasil mengidentifikasi anak-anak dengan patah tulang panjang dan perdarahan intrakranial sebagai korban SBS. Tahun 1960-an, beberapa dokter melaporkan tanda-tanda klinis dan radiografis berkaitan dengan kekerasan pada anak. Tahun 1972 Caffey menyebut SBS sebagai battered baby syndrome. Sayangnya baru pada tahun 2000-an, kasus SBS menjadi perhatian di USA.
SBS adalah penyebab kematian traumatis pada bayi dan dipertimbangkan sebagai penyebab morbiditas pada bayi berusia lebih muda dari 2 tahun. Menurut American Academy of Pediatrics, korban SBS paling sering dialami bayi berusia 2 tahun (atau bisa kurang dari 2 tahun), hingga usia 5 tahun. Literatur lain menyebutkan; SBS terutama terjadi pada bayi di bawah usia 1 tahun. Jadi bayi berusia 1 bulan hingga anak berusia 5 tahun rentan terhadap SBS.
Insiden (angka kejadian) SBS diperkirakan 15-30 kasus per 100.000 bayi berusia lebih muda dari 12 bulan. Ironisnya, kasus SBS biasanya disebabkan oleh orang-orang terdekat dengan bayi atau anak-anak. Mulai dari pengasuh anak (babysitter), bapak, ibu, kakek, nenek, kakek, paman, tetangga, dsb. Umumnya mereka mengguncang-guncang bayi agar diam atau berhenti menangis.
Mengguncang-guncangkan bayi ini tentunya tidak sama dengan mengayun-ayunkan bayi dengan kaki atau menggoyang-goyangkan bayi dengan lembut dengan tujuan untuk bermain-main. Mengguncang-guncang bayi dengan kasar dapat memicu efek ìwhiplashî yang dapat memicu cedera organ dalam, termasuk perdarahan di otak atau di mata. Tangisan bayi yang tidak dapat dihentikan (inconsolable crying) adalah pemicu utama terjadinya SBS.
Penyebab
Ada dua hipotesis penyebab SBS. Pertama, perluasan ruang subarachnoid sebagai faktor pencetus terjadinya subdural hematoma (SDH). SDH adalah perdarahan menuju ruang di antara dura (selaput pembungkus otak terluar) dan meninges (lapisan tengah pembungkus otak). Teori ini diperkuat dengan model biomekanis yang menyatakan bahwa sobekan di pembuluh vena kortikodural dicetuskan oleh ekspansi ruang subarachnoid. Ruang ini terletak diantara membran arachnoid dan pia mater, selubung otak dan sumsum tulang belakang, yang mengandung cairan cerebrospinal.
Kedua, perluasan ruang pericerebral pada fase awal sebagai akibat dari cedera kepala yang sebelumnya tak terdiagnosis. Pada pemeriksaan pencitraan (imaging), ditemukan bukti adanya atrofi (penyusutan) di beberapa bagian otak (bilateral, kortikal, dan supratentorial), subdural hygroma (akumulasi cairan, serupa kista), ventricular dilatation (pelebaran bilik jantung).
Potret Klinis
Penderita SBS menunjukkan tanda-tanda: mudah mengantuk, kekuatan ototnya menurun, mudah marah, mengamuk, atau rewel, berkurangnya selera makan, enggan makan atau menolak disuapi, muntah tanpa sebab, enggan tersenyum atau tak mau bergumam, refleks menghisap atau menelannya memburuk, sikap tubuhnya kaku, tak luwes, seolah dibuat-buat, sulit bernapas, kejang, kepala atau dahi tampak lebih besar daripada biasanya atau ada daerah lunak di kepala yang membengkak, tak mampu mengangkat kepala, matanya tak bisa fokus, tidak dapat mengikuti pergerakan, atau ukuran pupilnya tak sama.
Anak-anak korban SBS menunjukkan tanda-tanda kerusakan saraf yang serius, seperti: kejang, tampak sangat malas yang ditunjukkan dengan kata-kata atau penjelasan orang tuanya yang mengatakan bahwa anaknya hampir meninggal dunia, anaknya berhenti bernapas, atau diobservasi oleh dokter menunjukkan gangguan kesadaran serius, berhenti bernapas, denyut jantung melambat, melemahnya kewaspadaan (dapat berlanjut hingga koma). Pada kasus-kasus yang sangat serius, bayi atau anak-anak ditemukan telah meninggal dunia.
Diagnosis
Dokter menegakkan diagnosis SBS berdasarkan trias SBS, yaitu: 1. perdarahan pada rongga antara otak dan tulang tengkorak (subdural haemorrhage), 2. perdarahan di belakang bola mata (retinal haemorrhage), 3. penyakit atau kerusakan (malfunction) otak yang biasanya degeneratif (dalam medis disebut encephalopathy).
Untuk memastikan SBS, dokter akan melakukan pemeriksaan mata, persarafan, Computed Tomography scan (CT-scan), dan MRI (magnetic resonance imaging).
Dito Anurogo, konsultan kesehatan di detik.com dan netsains.net.
0 Komentar:
Post a Comment