Friday, November 2, 2012

SEMUA KARENA ANDREA


by Bunda Nay

“ Besok ayah dan ibu ke pengadilan... kamu mau ikut ...?”
Aku masih teringat kata-kata itu, karena itu adalah kalimat terakhir sebelum ayah dan ibu benar-benar perpisah. Rasa marah dan menyesal belum hilang dari hatiku hingga sekarang, dan aku belum bisa memaafkan diriku sendiri atas perceraian ayah dan ibu.
Andai saja hari itu aku ikut ajakan ibu ke pengadilan, andai saja hari itu aku tak egois dan merelakan acaraku. Mungkin saja saat ini aku masih melihat ayah dan ibu bersama di rumah, dan masih kurasakan kehangatan canda tawa saat bersama mereka. Kini Aku terus mengutuk semua kebodohanku. Padahal akulah kunci semuanya yang mungkin tak diketahui ayah dan ibu.Aku tahu apa yang sebenarnya terjadi selama Ayah kerja diluar kota, Aku tahu tentang laki-laki yang datang kerumahku, Aku tahu semuanya..., isu perselingkuhan, dan hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Tapi Entahlah, saat itu aku merasa tak ada gunanya aku ceritakan semuanya. Toh aku hanya anak kelas dua SMP yang mungkin tak dianggap oleh mereka.
Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana aku hidup dengan andrea yang sangat kusayangi lebih dari diriku sendiri. Apapun yang terjadi, aku harus tetap tegar. Aku tak ingin perceraian itu mempengaruhi kredibilatas dan juga kepopuleranku sebagai murid teladan sekaligus ketua osis dis ebuah sekolah terfaforit dikotaku.
Aku terus berusaha setegar karang, mencoba setahan baja saat para tetangga heboh mengomentari perceraian orang tuaku. Ada yang menyalahkan ibuku karena tak setia dengan cintanya, ada yang menyalahkan ayahku karena kerja di tempat jauh dan jarang pulang. Tapi ada juga yang senang mendengar perceraian itu.
Ah.....lama-lama kupingku panas juga, terlebih karena berita heboh di kampungku. Tak ada 1 tahun ibu dekat dengan seorang laki-laki yang cukup berumur tapi belum juga menikah. Lelaki itu sering berkunjung ke rumah peninggalan ayahku yang aku tempati bersama ibu. Sementara Andrea kecil, dia lebih memilih tinggal bersama nenek yang tak begitu jauh dari rumah kami, hanya beda beberapa gang. Dia yang paling depresi atas keputusan cerai orang tua kami. Maklum, budaya demokrasi belum ada di rumahku. Seharusnya aku dan Andrea dimintai pendapat atau mungkin dilibatkan sebelum ayah dan ibu memutuskan bercerai.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Tak mungkin mengembalikan semuanya apalag berharap mereka kembali.
**************
Menjelang tes kenaikan kelas, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah nenek. Aku bilang ke nenek kalau aku ingin lebih banyak menghabiskan waktu menemani Andrea kecil. Padahal itu ku lakukan karena aku tak sudi melihat lelaki itu, yang semakin sering datang mengunjungi ibu. Sungguh, aku tak rela ada lelaki lain menginjakkan kaki di rumah yang sudah hampir 10 tahun memberi kenangan indah padaku, Andrea dan ayah ibuku.
Tapi, aku benar-benar lemah di depan ibuku. Rasa takut dan hormat membuat lidahku kelu untuk sekedar protes atau mengutarakan isi hatiku.
Ah.....aku hanya bisa diam dan diam. Aku benar-benar tak tega melihat Andrea sealu diolok-olok teman-temannyakarena tak lagi memiliki ayah ibu yang utuh seperti lainnya.
Aku sedang membantu nenek menyiapkan makanan saat tiba-tiba ku dengar Andrea lari dngan menangis tergugu, pintu kamar dibanting dengan keras.
“Brakkkk.....!!!”
Aku dan nenek segera menemui Andrea yang sudah tengkurap di kasur dengan tangisan yang semakin menjadi.
“Kamu kenapa Dek......Ada yang jahat sama kamu....?” Ke belai rambut Andrea. Nenek mengambilkan minum untuknya.
“Minum dulu biar tenang......” Nenek memberikan segelas air putih. Andrea masih sesenggukan. Dadanya turun naik.
“Sekarang bilang ke Mas ada apa ?
“Ayah......Ayah......”
“Ayah kenapa ?”
”Ternyata benar kata orang-orang....ayah sudah punya calon istri”
“kamu tahu darimana ?”
”Tadi waktu Adek pulang sekolah, Adek melihat ayah naik becak sama mbak Dewi, mereka mesra sekali......” Seketika emosiku meluap. Ku tinju pintu kamar yang mulai rapuh. Aku bingung dengan jalan pikiran orang tuaku. Bukannya memikirkan bagaimana perasaan aku dan Andrea atau mencari solusi bagaimana pendidikan terbaik bagi kami, tetapi mereka malah sibuk saling menunjukkan keegoisan masing-masing. Ibu semakin dekat dengan lelaki itu, sementara ayah juga seolah nggak mau kalah dengan semakin dekatnya dia dengan Mbak Dewi, perempuan seumuran ibuku tapi belum juga mendapatkan suami.
Ayah dan ibu seakan unjuk aksi kalau mereka bisa lebih dulu mendapatkan pasangan lagi. Yang semakin membuaut aku naik pitam, lelaki dan perempuan yang sedang dekat dengan orang tua kami adalah sama-sama warga di kelurahanku, ahanya beda beberapa RT.
Aku tidak bisa menghentikan tangis Andrea, gadis kecilku, adik semata wayang yang aku punya. Terlalu kecil untuk Andrea mengerti arti hidup, apalagi usianya baru 10 tahun.
Aku berteriak lagi sambil ku tinjukan lagi tanganku hingga memar. Nenek memelukku dari belakang dari belakang, mencoba meredam emosiku.
“Sabar ya nak......Kamu yang paling besar, kamu harus kuat, tabah, dan jangan putus asa......Nenek tahu kalian amat sedih dengan perceraian orang tua kalian..... Nenek juga nggak ingin semuanya terjadi. Tapi.....ini kenyataan.....Kalian harus menghadapinya.....Kalian kebangaan nenek.....Buat nenek bangga ya sayang.....” Nenek berkaca-kaca menahan airmatanya jatuh. Ku balikkan tubuh dan ke peluk tubuh tua nenek.
“Sekarang kita tinggalkan adekmu, biarkan dia tenan dulu. Nanti nenek yang akan bicara ke Andrea......Ayo, makan dulu......” Aku ikuti lagkah nenek, ku biarkan Andrea yang masih menutupi mukanya dengan bantal.
**********
Usai pembagian raport kenaikan, aku rayakan keberhasilanku dengan teman-teman. Meski aku begitu banyak masalah, tapi aku tetap juara 1 di sekolah. Bahkan tak ada satupun teman-teman di sekolah yang tahu kalau aku anak broken home.
Seperti biasa, ku bagi sedih dan senangku pada alam. Pada terjal dan berlikunya tebing, pada kerasnya terik matahari, dan pada dinginnya malam di puncak gunung Sindoro.
Yah, bagiku hanya pada nenek dan alam aku rela manumpahkan semua yang menyesakkan dadaku. Di sini aku bebas berteriak sekencang-kencangnya tanpa ada tekanan ataupun larangan seperti kurasakan di rumah. Hidupku bagai dua sisi, kutub utara dan kutub selatan yang tak pernah bertemu. Di sekolah aku selalu menjadi nomer satu, suaraku, pendapatku, atau apapun yang aku lakukan begitu mahal harganya. Tapi di rumah.......aku seperti bukan siapa-siapa. Apalagi pendapatku, tak pernah bernilai apa-apa.
Untuk segala urusa, sekolah, makanan, baju, sepatu, atau bahakn permainan adalah hak mutlak ibuku. Tak pernah sedikitpun aku ditanya suka atau tidak. Seperti seorang prajurit militer, aku hanya boleh berkata “siap, laksanakan !”
Pun ketika ku dengar desas-desus lelaki itu akan melamar ibuku, aku juga tak mnedengar ibuku cerita atau sekedar meminta pendapatku atau mungkin Andrea. Yah....selalu begitu........
Bahkan untuk mengambil raport saja, aku sering minta tolong ibu temanku. Beliau sedah seperti orang tuaku sendiri. Ibet namanya, sahabat sekaligus kuanggap seperrti saudara. Di sana aku sering numpang tidur saat aku jenuh di rumah atau di temapt nenek. Bahkan 3 hari menjelang penerimaan raport, aku kabur dari rumah nenek. Aku bilang ada kegiatan sekolah. Begitulah, aku teramat baik dan penurut di mata orang tua dan nenekku, sehingga apapun yang aku lakukan mereka pasti mereka percaya. Mereka tak tahu kini aku mulai menjadi pembangkang, bahkan pembohong !
************
Setahun berlalu, aku mulai sibuk dengan dunia SMU ku. Sebagai lelalki normal aku mulai tertarik dengan lawan jenis. Apalagi dari penampilan, aku cukup berada di atas rata-rata menurut temanku. Maka ku mulai petualangan baruku. Aku mulai kenal rokok, bahkan sampai minum. Kadang aku juga heran mengapa aku melakukannya. Atau mungkin karena aku sedang butuh sebuah pengakuan. Ya....pengakuan yang tak aku dapatkan di rumah.
Entahlah, aku juga semakin menikmati cap “play boy” dari teman-teman perempuan di sekolahku. Aku tak peduli lagi apa yang ayah ibu lakukan, yang penting semua kebutuhanku dan Andrea tercukupi. Ayah setiap bulan atau setiap kali pulang dari luar kota pasti mengirimku uang yang jumlahnya lebih dari cukup untuk ukuran anak SMU, dan itu tanpa sepengetahuan ibu.
Dengan kepercayan dari orang-orang dekatku, aku semakin bebas melakukan apapun yang aku suka.
Diam-diam aku dan Andrea sering bertemu ayah dan diberi uang. Tapi ternyata kabar itu sampai juga ke ibuku. Sore itu sepulang dari sekolah kami disidang ibu. Ibuku naik pitam, merasa ditampar karena diam-diam aku sering menemui ayah dan diberi uang oleh ayah tanpa sepengetahuan ibu. Aku mencoba menjelaskan tapi ibu semakin marah. Aku bingung, apanya yang salah dengan aku dan Andrea. Toh apapun yang terjadi tidak ada bekas ayah atau ibu. Jadi apa yang aku lakukan memang satu kewajaran, memeberi uang anaknya.
Kami beretngkar hebat. Ibu tetap tidak suka aku dan Andrea sering mengunjungi ayah, apalagi tanpa sepengetahuan ibu. Dan aku tetap bersikukuh apa yang aku lakukan tidak salah. Akhirnya dengan kemarahan memuncak tangis ibu meledak kemudian masuk ke kemar dan menguncinya. Aku coba mengetuk pintunya dan meminta maaf berkali-kali, tapi pintu tetap terkunci dari dalam. Pun tidak ada kalimat yang keluar dari bu selain tangis yang semakin menjadi.
Aku memeluk Andrea yang ketakutan. Ku tenangkan dia dan ku ajak pulang ke rumah nenek. Aku tahu apa yang Andrea rasakan. Kami seperti anak ayam yang kehujanan dan kehilangan induk kami, merasa hidup tak berarti lagi. Nenek selalu mengajari kami untuk berjiwa besar. Apalagi watak ibu memang keras dari dulu, atak takut pada siapapun, termasuk nenek. Sayang kakek sudah meninggal, karena hanya beliau yang bisa menaklukkan hati ibu.
***************
Satu minggu sudah ibu mendiamkan aku, walalupun aku sudah meminta maaf berkali-kali. Bahkan buntutnya Adrea tak lagi semangat belajar. Kasihan dia, hatinya begitu mudah hancur. Sejak ibu memarahinya, nilai-nilai pelajarannya menurun drastis. Aku terus memompakan semangat ke Andrea, tapi belum juga berhasil.
Sementara aku mencoba mencari ketenangan. Aku langkahkan kakiku kemana ia suka. DI keheningan malam, menyusuri keangkuhan kota. Hatiku begitu hampa, kenapa semua ini terjadi padaku dan Andrea. Kenapa kami dipaksa harus mengerti arti hidup di usia kami yang masih begitu muda ? Kenapa mereka harus bercerai demi ego masing-masing ? Kenapa nggak ada yang mengerti perasaan aku dan Andrea ? Kenapa ? Kenapa ?
Pertentangan demi pertentangan terus berperang di hatiku. Ku coba mencari jawabannya tapi tak juga aku temukan. Dalam kekalutan, ku beli obat sakit kepala, 10 biji. Ku telan semua. Lalu aku terus berjalan, berharap ada mobil atau motor yang menabrakku, tapi mobil mobil itu malah menepi seperti memberiku jalan. Aku semakin pusing, kepalaku berputar-putar, bum yang ku injak semakin tak rata lagi, terus berputar......dan kemudian gelap...........
Saat ku buka mata, aku sudah dikelilingi banyak orang. Nenek, Andrea, Budhe Safira, dan beberapa tetangga. Tapi tak ku lihat sosok yang ku cari-cari, Ibu. Ku coba bangun, tapi kurasakan tubuhku begitu berat. Nenek menyodorkan segelas susu. Ku minum beberapa teguk dan aku seperti mendapat kekuatan. Sosok yang ku cari berikutnya adalah Andrea. Tangan mungilnya mengelus-elus pipiku. Ku tangkap tangannya, ku peluk tubuhnya erat seakan tak ingin ku lepas lagi.
Segala penyesalan merasuki hatiku. Aku telah melakukan kebodohan begitu besar. Hampir saja aku mati dan meninggalkan gadis kecil yang selalu menunggu senyumku. Aku harus tegar ! Aku harus kuat ! Aku harus tetap tersenyum ! dan aku harus bisa dibanggakan ! Ya......aku kebanggan Andrea, aku harus bisa menjadi pegangan untuknya. Akan ku tunjukkan pada ayah, ibu, nenek dan semuanya bahwa aku bisa dibanggakan, dengan atau tanpa ayah ibu seperti dulu.
Semua akan ku lakukan, karena orang yang sangat ku sayangi.....ya....semua karena Andrea. Perlahan senyumku mengembang, ku tatap mata sayu Andrea.
“Maafin Mas ya Dek......Mas sayang kamu.......” Mata Andrea berkejap-kejap, kemudian memelukku lagi. Semua yang ada di sana tak kuasa menaan air mata, melihat dua bocah berjuang hiudp dengan cinta.
“Ah....Andrea.....aku berjanji akan kutinggalkan semua perbuatan dan perilaku buruk di masa lalu, belajar menajdi lebih baik........Semoga Alloh selalu membimbingku menjadi pribadi tangguh dan pantas kamu banggakan.........”
THE END

0 Komentar:

Post a Comment